Page 136 - Transformasi Media Pembelajaran Berbasis Kearifan Lokal di Era Digital
P. 136
dijaga (Christen & Anderson, 2019). Model serupa juga
terlihat di Eropa, terutama dalam proyek digital heritage
seperti Europeana, yang memprioritaskan keterlibatan
komunitas, museum, dan lembaga pendidikan dalam
proses digitalisasi koleksi serta pemanfaatannya di ruang
kelas (Terras, 2015). Dalam konteks ini, Indonesia masih
berada dalam tahap transisi, yakni berusaha
menyeimbangkan kebutuhan dokumentasi tradisi,
penyusunan modul pendidikan, dan kepentingan
komersialisasi digital oleh sektor swasta.
Studi bibliometrik internasional mendukung
klaim bahwa keberhasilan digitalisasi budaya dalam
pendidikan dipengaruhi oleh tiga faktor utama. Pertama,
dukungan kebijakan dan pembiayaan publik-privat yang
konsisten, seperti terlihat dalam program Creative
Europe di Uni Eropa atau Digital Humanities di Amerika
Serikat, yang menyediakan dana besar untuk riset dan
inovasi pendidikan berbasis warisan budaya (Burgess &
Klaebe, 2009). Kedua, adanya panduan nasional
(guideline) dan model pengembangan yang bersifat
terbuka sehingga dapat direplikasi oleh berbagai institusi,
sebagaimana dibuktikan oleh UNESCO Framework for
Cultural Heritage in the Digital Era, yang menekankan
keterbukaan akses dan standardisasi praktik (UNESCO,
2021). Ketiga, mekanisme monitoring yang ketat
terhadap validitas narasi, kualitas teknis, serta
keterlibatan komunitas budaya pada setiap tahap
produksi dan implementasi media digital (Giaccardi,
2012).
Pengalaman global juga memperlihatkan adanya
perbedaan strategi dalam tata kelola kebijakan. Negara-
negara Eropa cenderung menekankan interkonektivitas
dan interoperabilitas melalui basis data terbuka lintas
negara, sementara Australia menekankan hak

