Page 134 - Transformasi Media Pembelajaran Berbasis Kearifan Lokal di Era Digital
P. 134
perwakilan komunitas, developer/startup, mahasiswa),
pelaksanaan co-design workshop dan riset lapangan
untuk mengumpulkan narasi dan metadata etis, fase
prototyping (dengan format hackathon atau sprint
terarah), uji coba pedagogis di kelas sebagai pilot yang
diukur menggunakan instrumen tervalidasi, lalu
refinemen produk dan penetapan perjanjian
keberlanjutan (MOU) mencakup pembagian hak dan
model pemeliharaan. Pendekatan iteratif tersebut
meminimalkan risiko representasi yang keliru dan
memperbesar peluang adopsi sekolah serta dukungan
komunitas. Praktik best practice internasional (mis.
Coding da Vinci) menegaskan pentingnya dokumentasi
proses dan pembelajaran agar hasil dapat direplikasi atau
disesuaikan oleh kelompok lain.
Rekomendasi kebijakan dan agenda penelitian ke
depan menuntun pada tiga arah utama. Pertama,
dukungan kelembagaan berupa dana riset kolaboratif,
kredit magang industri di kurikulum, dan hibah kampus
untuk proyek budaya-digital agar aktivitas ini tidak hanya
proyek ad hoc. Kedua, pengembangan standar evaluasi
partisipatif dan penggunaan instrumen yang tervalidasi
untuk mengukur outcome pembelajaran dan dampak
sosial-kultural, sehingga hasil dapat dibandingkan antar
proyek dan wilayah. Ketiga, penelitian lebih mendalam
pada model keberlanjutan ekonomi (kewirausahaan
sosial, monetisasi yang adil) serta metode co-creation
yang inklusif - mis. bagaimana AI/VR dapat diintegrasikan
tanpa mereduksi nuansa kultural, dan bagaimana living
labs lokal dapat menjadi ruang uji jangka panjang. Selain
itu, penting untuk mengeksplorasi metodologi co-
creation yang sensitif gender, generasi, dan representasi
minoritas agar hasilnya benar-benar inklusif.

