Page 18 - Transformasi Media Pembelajaran Berbasis Kearifan Lokal di Era Digital
P. 18
berpotensi memutus proses transfer nilai antar-generasi
yang selama ini berjalan melalui praktik sehari-hari dan
ritual komunitas. Bila transfer itu terputus,
institutionalisasi nilai melalui sekolah menjadi satu-
satunya saluran - dan bila sekolah tidak responsif kultural,
kehilangan warisan menjadi hampir tak terelakkan.
Namun penting dicatat bahwa globalisasi bukan
sekadar ancaman; ia juga menghadirkan peluang: akses
sumber belajar internasional, platform digital untuk
mendokumentasikan tradisi, dan kemungkinan
mempromosikan budaya lokal ke audiens global.
Kesenjangan muncul ketika peluang itu dimanfaatkan
tanpa filter kritis - misalnya ketika materi lokal
dikomodifikasi tanpa persetujuan komunitas atau ketika
kurikulum asing diadopsi tanpa adaptasi kontekstual.
Oleh karena itu, respons pendidikan harus bersifat
selektif dan memberdayakan, bukan menutup diri atau
total mengimitasi model luar.
Peran pendidikan sebagai penjaga dan penengah
nilai lokal perlu diredefinisi: dari sekadar “mengajarkan
pengetahuan budaya” menjadi fasilitator negosiasi nilai
antara lokal dan global. Dalam praktiknya ini berarti
merancang kurikulum yang menggabungkan elemen
glokalisasi - mengambil praktik global yang berguna
namun mengartikulasikannya dalam kerangka lokal - dan
menerapkan pedagogi kritis yang memberi ruang bagi
siswa untuk mengevaluasi arus budaya, bukan semata
menjadi konsumen pasif. Pendekatan-pendekatan seperti
pembelajaran berbasis tempat (place-based education),
pendidikan berbasis proyek yang melibatkan komunitas,
dan literasi media kritis menjadi instrumen operasional
untuk tujuan ini.
Secara teknis, beberapa langkah konkrit yang
dapat menanggulangi efek erosi nilai antara lain:

