Page 24 - Transformasi Media Pembelajaran Berbasis Kearifan Lokal di Era Digital
P. 24
seni, dan industri kreatif perlu dilibatkan dalam
mendesain serta mengimplementasikan
pembelajaran. Kolaborasi ini memberi
legitimasi budaya sekaligus menjamin
keberlanjutan praktik pendidikan berbasis
glokalisasi. Nurasiah (2022) menekankan
bahwa kolaborasi lintas sektor merupakan
kunci untuk mewujudkan paradigma
pendidikan adaptif dan inklusif.
Selain peluang, glokalisasi juga membawa
tantangan. Pertama, resistensi dari pihak yang
menganggap globalisasi ancaman murni, sehingga
cenderung menolak semua bentuk inovasi. Kedua,
keterbatasan kapasitas guru dan infrastruktur sekolah,
yang dapat membuat glokalisasi berhenti pada tataran
wacana. Ketiga, risiko komodifikasi budaya - nilai tradisi
dikemas untuk konsumsi global tanpa memperhatikan
konteks otentiknya, sehingga kehilangan kedalaman
makna. Tomlinson (1999) mengingatkan bahwa
globalisasi budaya sering mengandung unsur
homogenisasi yang mengikis keunikan, sehingga
pendidikan perlu sangat hati-hati agar glokalisasi tidak
berubah menjadi sekadar “globalisasi berlabel lokal.”
Meski demikian, jika dilaksanakan dengan tepat,
glokalisasi dapat menjadi strategi unggulan pendidikan. Ia
memungkinkan generasi muda untuk tumbuh sebagai
warga dunia yang kompeten secara global, tetapi tetap
berakar kuat pada identitas lokalnya. Sejalan dengan
gagasan Appadurai (1996) tentang scapes, glokalisasi
memberikan ruang bagi “imajinasi lokal” untuk
menegosiasikan posisinya dalam arus global. Dalam
kerangka ini, pendidikan berfungsi bukan hanya sebagai
benteng pelestarian budaya, tetapi juga sebagai
laboratorium kreativitas di mana nilai lokal diolah,
diperkaya, dan diproyeksikan ke ranah global.

