Page 75 - Transformasi Media Pembelajaran Berbasis Kearifan Lokal di Era Digital
        P. 75
     kerajinan lokal menggabungkan keterampilan abad ke-21
               dengan afirmasi identitas.
                      Peran  guru  dalam  proses  ini  krusial.  Guru
               bertindak sebagai cultural mediator - menyajikan sumber
               budaya dengan otentisitas, memfasilitasi dialog kritis, dan
               menjaga sensitivitas etis ketika mengangkat praktik adat.
               Kompetensi  yang  dibutuhkan  meliputi  pengetahuan
               budaya lokal, literasi media untuk mengemas budaya ke
               dalam  format  digital  yang  tepat,  serta  keterampilan
               fasilitasi  reflektif  agar siswa tidak  hanya  mengonsumsi
               budaya  tetapi  juga  merekonstruksi  maknanya.  Tanpa
               kapasitas guru ini, pengintegrasian kearifan lokal mudah
               berakhir  pada  simbolisme  dangkal  atau  ‘ornamen
               kebudayaan’     yang     justru   memperparah       rasa
               keterasingan.
                      Kearifan  lokal  juga  harus  dihubungkan  dengan
               strategi  penguatan  identitas  di  tingkat  institusional.
               Kurikulum  yang  memberi  ruang  untuk  modul-modul
               berbasis  lokal,  kebijakan  sekolah  yang  mendukung
               kegiatan  ekstrakurikuler  budaya,  serta  kemitraan  aktif
               dengan  komunitas  adat/organisasi  budaya  menjadi
               penopang keberlanjutan. Misalnya, program sekolah yang
               bekerja sama dengan sanggar seni setempat atau tokoh
               adat  untuk  mengadakan  lokakarya  seni,  upacara  mini,
               atau  kompetisi  kreatif  akan  membangun  ekosistem
               pembelajaran yang mempraktikkan nilai budaya secara
               rutin dan terlihat manfaatnya bagi siswa.
                      Namun  ada  jebakan  yang  perlu  diantisipasi.
               Pertama, risiko tokenisme - mengangkat budaya hanya
               sebagai  rutinitas  seremonial  tanpa  makna  pedagogis  -
               harus  dihindari  lewat  desain  pembelajaran  yang
               menempatkan       praktik   budaya    sebagai   sumber
               pengetahuan  dan  nilai,  bukan  dekorasi.  Kedua,  bahaya
               komodifikasi  atau  eksploitasi  budaya  di  ruang  digital:
     	
