Page 76 - Transformasi Media Pembelajaran Berbasis Kearifan Lokal di Era Digital
P. 76
materi budaya yang dimonetisasi atau dipresentasikan
tanpa persetujuan komunitas dapat memicu konflik dan
kehilangan kepercayaan. Oleh karena itu, prinsip
community consent dan benefit sharing harus dijadikan
bagian dari etika pengembangan bahan ajar berbasis
budaya. Ketiga, ada tantangan dinamika generasi: siswa
yang “digital native” mungkin menganggap format
tradisional membosankan - oleh sebab itu, pengemasan
kreatif (mis. interaksi multimedial, game edukatif yang
menempatkan narasi lokal sebagai konteks problem
solving) membantu menjembatani kesenjangan.
Evaluasi keberhasilan integrasi kearifan lokal
dalam menanggulangi krisis identitas perlu mengadopsi
indikator multidimensi. Indikator kognitif mengukur
pengetahuan budaya; indikator afektif menilai rasa
kebanggaan, self-esteem budaya, dan keterikatan
komunitas; indikator perilaku melihat partisipasi dalam
kegiatan budaya dan tanggung jawab sosial; sementara
indikator kritis menilai kemampuan siswa
membandingkan dan memformulasi sikap selektif
terhadap pengaruh global. Pengukuran ini paling efektif
melalui kombinasi metode: portofolio, observasi
partisipatif, wawancara reflektif, dan survei iklim sekolah
- bukan hanya tes pilihan ganda semata.
Dengan demikian, kearifan lokal bukan antidotum
negatif yang menutup akses ke dunia, melainkan sumber
daya identitas yang memungkinkan generasi muda
menavigasi globalisasi dengan pijakan. Ketika ditegakkan
melalui praktik pengajaran yang nyata - yang
menghormati komunitas, memberdayakan guru, dan
mengutamakan refleksi kritis - kearifan lokal
menghasilkan generasi yang mampu berpihak pada nilai-
nilai lokal sambil tetap kompeten di arena global. Upaya
ini memerlukan komitmen sistemik: dari guru, sekolah,

