Page 86 - Transformasi Media Pembelajaran Berbasis Kearifan Lokal di Era Digital
P. 86
sebagai pelengkap. Sebaliknya, di sekolah yang memiliki
fasilitas laboratorium komputer, proyektor, atau gawai
siswa, integrasi AR atau VR mampu menghadirkan
simulasi budaya lokal yang memukau, seperti
menampilkan tarian tradisi dengan kostum dan latar 3D,
atau tur virtual ke situs sejarah. Perbedaan kondisi ini
mengingatkan guru bahwa pemilihan media harus adaptif
dan inklusif terhadap kondisi nyata di lapangan.
Literasi media guru juga menjadi faktor
penentu. Guru yang memiliki kompetensi pedagogis-
digital tinggi dapat merancang pengalaman belajar yang
memadukan kekuatan keduanya: menghidupkan cerita
rakyat melalui pementasan drama di kelas, lalu
mengarsipkan pertunjukan itu dalam bentuk video
interaktif yang bisa diputar ulang di rumah sebagai bahan
refleksi keluarga. Sementara itu, guru yang kurang
terampil cenderung hanya memindahkan isi buku ke slide
atau PowerPoint tanpa menambah nilai pengalaman
belajar, sehingga media digital kehilangan potensinya
sebagai alat inovatif.
Secara pedagogis, media digital unggul untuk
memvisualisasikan konsep abstrak dan memberi
kesempatan belajar mandiri, sedangkan media
tradisional unggul dalam menanamkan nilai, etika, dan
kebersamaan. Keduanya harus dilihat sebagai bagian dari
continuum, bukan dua kubu yang saling bertentangan.
Guru perlu mengawali dengan tujuan pembelajaran:
apakah ingin menumbuhkan rasa cinta budaya dan
karakter kolektif, atau memperkuat konsep ilmiah
dengan dukungan visual-interaktif. Pemahaman ini akan
memandu guru memilih proporsi dan urutan media yang
tepat.
Dengan demikian, keefektifan media tidak bisa
dinilai hitam-putih. Media tradisional memberikan
kehangatan, keaslian, dan kedalaman nilai, sedangkan

