Page 92 - Transformasi Media Pembelajaran Berbasis Kearifan Lokal di Era Digital
P. 92
tersebut menggunakan teknologi, daya tariknya tidak
jauh berbeda dari buku cetak biasa dan gagal
meningkatkan pengalaman belajar (Saringatun
Mudrikah, 2022; Mawarni, 2017).
Konteks budaya dan usia siswa juga sering kali
kurang dipertimbangkan. Ada kasus di mana materi ritual
adat yang sakral disajikan dengan cara yang tidak tepat
atau tidak sesuai dengan tingkat pemahaman peserta
didik, sehingga menimbulkan salah tafsir atau
mengurangi makna nilai budaya yang ingin diajarkan.
Kekeliruan ini menunjukkan bahwa proses digitalisasi
kearifan lokal memerlukan kepekaan budaya dan
konsultasi dengan pihak komunitas pemilik tradisi agar
nilai-nilai luhur tidak terdistorsi (Nurprihardianti, 2024).
Dari sisi integrasi kurikulum, media digital
berbasis kearifan lokal kerap tidak dirancang secara
selaras dengan tujuan pembelajaran dan asesmen yang
berlaku di sekolah. Akibatnya, media ini dianggap sebagai
kegiatan tambahan yang tidak berdampak langsung pada
capaian akademik siswa. Guru yang terbebani oleh target
kurikulum inti sering mengabaikan media tersebut
karena tidak memiliki indikator evaluasi yang jelas atau
tidak termasuk dalam materi ujian (Dewi, 2024).
Ketiadaan dukungan kebijakan sekolah untuk
memanfaatkan media berbasis kearifan lokal semakin
memperlemah keberlanjutan penggunaannya.
Tak kalah penting adalah isu etika, otentisitas, dan
hak budaya. Dalam beberapa kasus, materi budaya yang
digunakan dalam media digital - misalnya ritual adat,
motif batik khas daerah, atau cerita rakyat - dikemas
tanpa melibatkan komunitas asli sebagai pihak yang
memiliki hak budaya tersebut. Praktik semacam ini
menimbulkan risiko hilangnya makna budaya,
kesalahpahaman makna simbolik, bahkan dapat memicu
konflik sosial karena dianggap mereduksi atau

