Page 179 - EBOOK_Sejarah Islam di Nusantara
P. 179

158  —  ORIENTALISME DIGUNAKAN


          yang disebutnya “penyelidikan ilmiah”. Dengan melakukan hal ini, demikian
          katanya, sang ahli hukum bisa menggunakan bantuan “sang etnografer dan
          f lolog” untuk memahami secara lebih tepat bagaimana hukum-hukum tertulis
          berinteraksi dengan hukum-hukum tak tertulis dalam berbagai masyarakat
          Muslim. Sebagaimana kita seharusnya tidak menggunakan Hukum Romawi
          sebagai  tolok  ukur  untuk  menilai  kehidupan  bangsa  Belanda,  begitu  pula
          Hukum Islam, yang lebih suka dia sebut “pengajaran kewajiban-kewajiban”,
          tidak seharusnya dijadikan ukuran untuk menilai kehidupan muslim sehari-
          hari. Bagaimanapun, sejarah telah menunjukkan bahwa orang sudah lama
          memiliki  cara  menafsirkan  hukum  sedemikian  rupa  sehingga  mencapai
          kompromi antara kepentingan spiritual dan kepentingan duniawi. 42
              Pendekatan  ini  juga  memengaruhi  serangannya  yang  jauh  lebih  luas
          terhadap pandangan yang berlaku, yang muncul dalam serangkaian artikel
          dalam De Gids. Di sini dia menyebutkan berbagai gagasan “reformasi” Islam
          di  Mesir  yang  baru  saja  dijajah  sebagaimana  yang  didukung  oleh  orang
          Inggris, Wilfred Scawen Blunt (1840–1922), dan seorang pengacara Belanda
          yang bekerja di persidangan-persidangan campuran di bawah para Khedive, P.
          van Bemmelen (1828–92). Keduanya mengaku sekutu Mesir dan pendapat-
          pendapat mereka dihargai para sejawat Snouck.
              Snouck  menyatakan  bahwa  kedua  orang  itu  hanya  teperdaya
          membayangkan bisa benar-benar menilai seberapa Islami sebuah masyarakat
          dengan  membandingkan  teks-teks  hukum  klasik  dengan  masyarakat  yang
          hidup. Tidaklah masuk akal mengandaikan bahwa Islam bisa “direformasi”
          sekadar dengan “kembali ke Al-Quran” atau dengan memperbarui (sebuah
          karya)  yurisprudensi.  Bagi  Snouck,  Islam  bukanlah  sekadar  wahyu  yang
          digabung dengan teladan Nabi. Islam adalah sistem organik yang berkembang
          untuk mempertimbangkan berbagai praktik yang ada dan kesepakatan umum
          (ijma’) komunitas. Islam juga merupakan sistem yang sudah menghabiskan
          empat abad untuk memperoleh tiga elemen yang saling mengukuhkan, yaitu
          Tradisi, Hukum, dan Mistisisme. Bagi Snouck, gerakan reformasi apa pun
          yang mengklaim kembali ke sumber asli sama saja dengan menyangkal sejarah.
          Seorang  pembaharu  sejati—jika  ada  yang  akan  muncul  di  sebuah  negeri
          muslim—harus menghadapi persoalan jihad dan ijtihad, dengan konsensus
          ulama yang tak bisa salah dan struktur mazhab-mazhab yuridis; semua ini
          mendarah daging berkat apa yang Snouck duga sebagai sifat “katolik” dan
          “konservatif” Islam. 43
              Kita tidak boleh melupakan fakta bahwa pemikiran Snouck selalu didasari
          oleh fokus kolonial. Dia menyerukan perlunya lebih mengenal masyarakat
          Muslim dengan alasan mereka akan bisa diatur secara lebih bijaksana jika
          dipahami. Sekali lagi, ini adalah argumen untuk mendukung pekerjaannya
          pada  masa  depan  karena  Snouck  jelas  menyiratkan  bahwa  ada  kebutuhan
   174   175   176   177   178   179   180   181   182   183   184