Page 32 - EBOOK_Sejarah Islam di Nusantara
P. 32

MENGINGAT ISLAMISASI  —  11


               Majapahit digulingkan oleh pasukan dari Demak pada 1527. Beberapa waktu
               setelahnya Majapahit didirikan kembali sebagai Mataram Islam. Negara ini
               mencapai  puncaknya  seabad  kemudian  di  bawah  Sultan  Agung  (berkuasa
               1613–46). Raja ini mengawali kekuasaannya dengan menundukkan pantai
               utara  dan  memungkasi  rangkaian  kemenangannya  dengan  penjarahan
               Surabaya  pada  1625.  Istananya  kemudian  menjadi  sponsor  karya-karya
               yang  menurut  M.C.  Ricklefs  menampilkan  bukti  bagi  sebuah  “sintesis
               mistis” yang sudah jadi (bukannya baru mulai), memadukan Islam non-Jawa
               dengan sebuah bentuk domestik yang sebenarnya sudah ada sejak Wali Sanga
               menyelesaikan pekerjaan mereka. 25
                    Para sunan pesisir utara Jawa juga memiliki pengaruh di tempat lain
               di  Nusantara—tempat  pusat-pusat  perdagangan  semakin  mendekatkan
               berbagai kawasan Islam—termasuk bandar-bandar seperti Gowa (Makassar),
               kepangeranan pertama di Sulawesi yang diislamkan (awal abad ketujuh belas).
               Dengan dukungan para sunan di Giri, Gowa menjadi pengislam yang aktif
               baik terhadap para tetangganya maupun terhadap pulau-pulau lain yang lebih
               jauh  seperti  Banda,  Lombok,  dan  Sumbawa.  Beberapa  pihak  menyatakan
               bahwa, pada pengujung abad keenam belas, para penguasa Sulawesi sudah
               mulai membangun otoritas mereka berdasarkan model “manusia sempurna”
               (al-insan al-kamil) ala Suf  sembari melihat Mataram dan Aceh untuk mencari
                           26
               model praktis.
                    Tak  diragukan  lagi,  terdapat  bukti  bahwa  gagasan-gagasan  Suf 
               merembesi  berbagai  tradisi  lokal  di  Nusantara,  mengingat  mencoloknya
               popularitas  Khidr  sebagai  acuan  gagasan  manusia  sempurna.  Belum  lagi
               kemungkinan  untuk  sepenuhnya  mengenal Tuhan  dengan  melewati  “lima
               tingkatan wujud” yang dirumuskan ‘Abd al-Karim al-Jili (1365–1428). Besar
               kemungkinan  gagasan-gagasan  semacam  itu  dikenal  banyak  masyarakat
               Indonesia melalui karya-karya seorang Melayu dari Sumatra Utara, bernama
               Hamzah al-Fansuri. Seperti Wali Sanga, dia dianggap menciptakan sebuah
               bentuk kesenian, yaitu berupa syair puitis Melayu (dari bahasa Arab syi’r).
               Pengembaraan Hamzah membawanya jauh dari tanah airnya. Sebuah prasasti
               pemakaman yang ditafsirkan baru-baru ini menunjukkan bahwa hidupnya
               berakhir di Mekah pada 1527.  Penanggalan baru ini telah secara radikal
                                          27
               mengubah  pemahaman  kita  mengenai  sejarah  sastra  dan  Suf sme  Melayu
               karena  Hamzah  al-Fansuri  biasanya  ditempatkan  di  istana  Aceh  di  bawah
               Iskandar Muda (1607–36).
                    Apa  pun  kebenaran  masalah  ini,  kebanyakan  literatur  menunjukkan
               bahwa  puisi  al-Fansuri  diselimuti  oleh  gambaran-gambaran  Suf   yang
               menggemakan dunia maritim bangsa Melayu. Dalam sebuah puisi, Tuhan
               ditampilkan  sebagai  samudra  mahaluas  yang  harus  diarungi  dengan  kapal
               Syari‘ah dalam perjalanan menuju pulau-pulau surga. Puisi lain mengibaratkan
   27   28   29   30   31   32   33   34   35   36   37