Page 37 - EBOOK_Sejarah Islam di Nusantara
P. 37

16  —   INSPIRASI, INGATAN, REFORMASI


          tujuan terakhir perdagangan rempah Samudra Hindia, Kairo sangat dikenal
          oleh  para  pedagang  Asia  Tenggara.  Para  sultan  awal  Sumatra  tampaknya
          meniru  nama-nama  kerajaan  Ayyubi.  Bangsa  Aceh  pun  menyambut  para
          cendekiawan Mesir pada abad keenam belas. Bustan al-Salatin (Taman Para
          Sultan) dari Aceh melaporkan bahwa istana menampung seseorang bernama
          Muhammad al-Azhari pada 1570-an, dan menyusul pada 1580-an seorang
          ahli mengenai a‘yan tsabitah yang diisyaratkan sebagai kerabat ahli hukum
          terkenal Mesir yang bermukim di Mekah, Ibn Hajar al-Haytami (1504–67). 42
              Identif kasi Sayf al-Din sebagai Sayf al-Rijal didukung oleh fakta bahwa
          al-Raniri  belakangan  sadar  bagaimana  lawannya  itu  menyatakan  bahwa
          pendekatannya adalah “pendekatan semua wali di Mekah dan Madinah”.
                                                                         43
          Belum ada bukti mengenai seorang wali pun di Mekah dan Madinah yang
          pernah menyatakan secara terang-terangan bahwa doktrin kesatuan wujud
          menyiratkan  ruh  dan  wujud  yang  bisa  saling  dipertukarkan.  Sebaliknya,
          pernyataan itu tampaknya merupakan sebuah kontribusi khas Aceh pada f lsafat
          Islam, dan sumbangan itu segera musnah sepenuhnya seperti penggagasnya
          ketika gelombang pengajaran tarekat yang lebih ortodoks menyapu pesisir
          Aceh. Barangkali upaya selanjutnya untuk menekan pengungkapannya setelah
          al-Raniri muncul dalam sebuah risalah pendek yang ditulis Muhammad al-
          Manuf   (w.  1663)  dari  Kairo,  yang  ditanyai  (mungkin  setelah  pengusiran
          al-Raniri)  apakah  para  pengikut  Kamal  al-Din  adalah  “orang-orang  yang
          mencapai pengetahuan” (muhaqqiqun) sejati.
              Dalam jawabannya, al-Manuf  menggunakan perkataan Imam Nawawi
          (w.  1277–78)  dan  Ibn  Hajar  al-Haytami  untuk  menunjukkan  bahwa  ada
          banyak  “Suf   palsu  yang  bodoh”  yang  menyibukkan  diri  dengan  karya-
          karya  Ibn  al-‘Arabi  dengan  mengorbankan  ilmu-ilmu  formal  Syari‘ah  dan
          juga  tarekat,  mengabaikan  hukum  dan  bahkan  bersenang-senang  dengan
          lawan jenis. Namun, ketika dia beralih untuk membahas pernyataan terang-
          terangan bahwa “Tuhan adalah ruh dan wujud kita”, dia menyatakan bahwa
          kekurangannya tidak ada dalam buku-buku Ibn al-‘Arabi, tetapi dalam diri
          kaum antinomi itu sendiri yang teperdaya. 44
              Sisa risalah al-Manuf  meringkas perdebatan mengenai makna Keesaan
          Tuhan dan sifat-sifat Tuhan yang bisa dipahami, kritik terhadap kesalahan
          penafsiran  pseudo-Kristen  atas  kitab  suci,  dan  kecaman  terhadap  majelis-
          majelis tempat para mistikus mengklaim mengalami keajaiban wahyu dan
          penglihatan  taman  surgawi.  Seperti  akan  kita  lihat  dalam  buku  ini,  jenis
          keprihatinan yang diajukan al-Manuf  akan muncul lagi dan lagi. Begitu pula,
          pembelaannya dibuat dengan merujuk pada pernyataan bahwa Islam lokal
          merupakan bentuk Mekah yang lebih sejati, meski tempat otoritas hukum
          sangat sering berada di Mesir dan kecendekiawanan Mesir, tempat tarekat
          menjadi bagian krusial dari jalinan sosial di bawah pemerintahan Utsmani.
   32   33   34   35   36   37   38   39   40   41   42