Page 38 - EBOOK_Sejarah Islam di Nusantara
P. 38

MENGINGAT ISLAMISASI  —  17


               Walaupun  begitu,  juru  tulis  Aceh  yang  membuat  terjemahan  baris-baris
               risalah al-Manuf  memiliki gagasannya sendiri mengenai majelis semacam itu
               dan memastikan untuk memperluas komentar dalam bahasa Melayu terhadap
               penyebutan al-Manuf  pada “Ibn ‘Arabi dan Ibn Farid serta para pengikut
               mereka”, menambahkan, “serta semua ulama muhaqqiqin Aceh Dar al-Salam,
               seperti  Syekh  Hamzah  Fansuri,  Syekh  Syams  al-Din  al-Sumatra’i,  Syekh
               Kamal al-Din Ashi, dan Syekh Sayf al-Din Azhari, semoga rahmat Tuhan
               Yang Mahakuasa diberikan kepada mereka semua!” 45
                    Mengesampingkan barisan para cendekiawan yang mencolok itu (yang
               mencerminkan  hasrat  post  factum  untuk  mengklaim  keempat  orang  itu
               sebagai eksponen Islam Aceh), rujukan yang diulang-ulang pada muhaqqiqin
               (yang berbentuk jamak) merupakan hal penting. Merujuk pendapat Ibn al-
               ‘Arabi, pada dasarnya seorang muhaqqiq adalah orang yang berusaha mencari
               “kenyataan”  (haqq)  tertinggi  Tuhan.  Tak  diragukan  lagi,  istilah  ini  dan
               bentuk verbalnya, tahqiq, melimpah dalam berbagai risalah yang berkaitan
               dengan Suf sme dalam dunia Jawi dan dengan guru-guru Suf  Arabia yang
               mulai dikagumi para penulis. Namun, kita harus menengok Mesir pada awal
               abad ketujuh belas untuk memahami asal usul dan arti pentingnya, seperti
               yang  dilakukan  orang-orang  Aceh  yang  berdebat  mengenai Kamal  al-Din.
               Pasalnya  di  wilayah  tersebut,  belakangan  ini,  perdebatan  mengenai  tahqiq
               dan penerapannya kian diminati, dalam pengertian yang lebih teknis sebagai
               “verif kasi” dari maksud kitab suci.
                    Ada yang menyatakan bahwa hal ini berasal dari dua arus kedatangan
               cendekiawan  ke  wilayah  Timur  Arab.  Di  satu  sisi  terdapat  para  guru  ahli
               “kitab-kitab bangsa Persia” dari suku Azeri dan Kurdi, yang melarikan diri dari
               perluasan negara Safawi yang Syi‘ah. Di sisi lain, para cendekiawan yang datang
               dari wilayah Barat Arab dan memopulerkan karya-karya para ahli logika dari
               masa lebih awal, seperti Muhammad b. Yusuf al-Sanusi (w. 1495) dari Maroko.
                                                                               46
               Dalam beberapa segi, adalah hal yang pas meski ganjil bahwa seorang Jawa yang
               menyalin komentar al-Sanusi terhadap buku pengantarnya sendiri, Umm al-
               barahin (Induk Segala Tanda), tergelincir sejenak ketika menggambarkan sang
               pengarang sebagai “kebanggaan para wali muhaqqiqin” (lihat Gbr. 2, baris 9).
               Namun, tidak semua ulama Timur Arab mendukung kaum muhaqqiqin yang
               baru itu dan para pewaris mereka. Orang Aceh yang menyalin fatwa al-Manuf 
               menganggap pandangan-pandangan sang mufti Kairo itu bertentangan dengan
               pandangannya  sendiri,  dan  memohon  perlindungan  kepada  Tuhan  “dari
               kejahatan orang-orang yang menolak perkataan semua ulama muhaqqiqin.” 47
                    Kita harus berhati-hati dalam menyatakan bahwa perdebatan antara al-
               Raniri dan Kamal al-Din mewakili pertikaian antara Islam Melayu-Indonesia
               yang damai dan mistis dan intoleransi Indo-Arab yang skripturalis, yang hanya
               mengacu pada teks. Perdebatan mendukung dan menentang kaum muhaqqiqin
   33   34   35   36   37   38   39   40   41   42   43