Page 41 - EBOOK_Sejarah Islam di Nusantara
P. 41

20  —   INSPIRASI, INGATAN, REFORMASI


          tahu bahwa orang “Jawi” ini meninggalkan Aceh (dan al-Raniri) pada 1642,
          memulai sebuah petualangan ke luar negeri yang berlangsung sekitar lima
          belas tahun. 55
              Setelah berpindah dari satu guru ke guru lain di antara Teluk, Yaman,
          Mekah,  dan  India,  akhirnya  al-Sinkili  menemukan  guru  yang  sesuai  di
          Madinah, yaitu Ahmad al-Qusyasyi (1583–1661) dan Ibrahim al-Kurani (w.
          1690), keduanya memiliki jaringan luas dengan Mesir. Ahmad al-Qusyasyi
          yang lahir di Madinah memiliki serangkaian pengalaman mistis di Yaman,
          tempat ayahnya pernah membawanya pada 1602. Dia kemudian kembali ke
          Madinah  dan  memantapkan  diri  sebagai  guru  tarekat  Syattariyyah  setelah
          kematian  pembimbing  Suf   utamanya  (sekaligus  mertuanya)  Ahmad  al-
          Syinnawi (w. 1619), yang terhubung dengan banyak cendekiawan Mesir.
              Adapun Ibrahim al-Kurani, lahir di Kurdistan dan bergabung dengan al-
          Qusyasyi setelah melakukan banyak perjalanan di wilayah Timur Arab. Pada
          1650  dia  pergi  ke  Kairo  dan  berhubungan  dengan  sejumlah  cendekiawan
          Mesir. Dia kembali ke Madinah pada 1651 dan menjadi wakil al-Qusyasyi
          untuk Syattariyyah. Dalam beberapa biograf  Arab, dia lebih dikenal sebagai
          seorang  Naqsyabandi.  Meskipun  ‘Abd  al-Ra’uf  sudah  bergabung  dengan
          berbagai  tarekat,  ajaran  Syattariyyah-lah  yang  dibawanya  ke  Aceh  dan
          diajarkan kepada murid-muridnya seperti ‘Abd al-Muhyi Pamijahan (1640–
          1715), yang bermukim di Kota Karangnunggal di Jawa Barat beberapa waktu
          setelah 1661.
              Al-Kurani  merupakan  penyusun  sebuah  risalah,  Ithaf  al-Dzaki
          (Persembahan  kepada  Yang  Cerdik),  yang  dia  tujukan  kepada  orang-orang
          Jawi yang antusiasmenya terhadap Tuhfah karya al-Burhanpuri tak pernah
          berkurang. Mustafa b. Fath Allah al-Hamawi (w. 1712), yang berjumpa al-
          Kurani  pada  1675,  menyatakan  bahwa  pertanyaan  beberapa  orang  Jawi
          mengenai penafsiran Tuhfah dalam “sekolah-sekolah keagamaan” mendorong
          Kurani menulis risalahnya. 56
              Tampaknya kita bisa mengenali sebuah persoalan teologis tertentu di balik
          permintaan semacam itu. Pasalnya, al-Kurani juga menghasilkan risalah yang
          lebih pendek mengenai pandangan “beberapa orang Jawa” yang menyatakan,
          “karena pengetahuan dan kesalehan” bahwa “Tuhan Yang Mahakuasa adalah
          diri dan wujud kita serta kita adalah diri dan wujud-Nya”. Kalimat ini persis
          seperti yang pernah diutarakan oleh Kamal al-Din; jika dilihat berdasarkan
          konteksnya, pertanyaan yang dilaporkan tersebut ditujukan kepada “ulama
          ahli  tahqiq”.  Sepertinya  teologi  Kamal  al-Din  dirumuskan  kembali  dalam
          kerangka  perdebatan  umum  antara  “beberapa  orang  Jawa”  dan  “beberapa
          ulama [asing] yang [sekarang] menuju ke sana”. 57
              Tanggapan Al-Kurani lebih lunak ketimbang al-Manuf . Dia menyatakan
          bahwa orang Jawi yang bersangkutan tidak patut mati meskipun orang Jawi
   36   37   38   39   40   41   42   43   44   45   46