Page 44 - EBOOK_Sejarah Islam di Nusantara
P. 44

MENGINGAT ISLAMISASI  —  23


               mengenai Makassar. Sebagian besar laporan itu didasarkan pada wawancara
               dengan dua pangeran yang diajarnya di Paris. Dalam laporannya, Gervaise
               menggambarkan betapa para pemimpin agama setempat, yang dikenal sebagai
               Agguy,  memimpin  masjid-masjid  batu  yang  terawat  dengan  baik.  Masjid-
               masjid  itu  juga  dilengkapi  dengan  sekelompok  fakir  selibat  yang  disebut
                                                 65
               Santari, yang bertugas melayani masjid.  Gervaise mencatat:
                    mereka tidak banyak terpapar bahaya melanggar kesetiaan terhadap Panggilan
                    dan Sumpah Kesucian mereka. Mereka Hidup Malam dan Siang dalam Sel-
                    Sel kecil, terpisah satu sama lain, yang semuanya dibangun dalam Masjid. Di
                    sana, setiap Pagi, mereka menerima Sedekah Orang-Orang Beriman, yang tak
                    sedikit pun mereka nikmati di luar Kepatutan. Ketika mereka menghendaki
                    sesuatu yang diperlukan untuk Menopang Hidup, mereka beranggapan bahwa
                    suatu Kehormatan untuk Mengemis dari pintu ke pintu. Jumlah mereka lebih
                    kurang,  sesuai  dengan  besarnya  Masjid.  Mereka  tidak  memelihara  Rambut
                    ataupun Janggut. Topi sederhana dari Linen putih menutupi Kepala mereka
                    dan Pakaian berwarna serupa, yang mereka kenakan, mencapai tidak lebih dari
                    Lutut mereka. Jika harus pergi ke luar negeri karena sebuah Urusan penting,
                    mereka memohon izin dari Agguy Agung, dan kemudian mereka mengenakan
                    pakaian yang dianggap nyaman. Mereka pun tidak berbeda dari kaum Awam,
                    hanya  Kepala  mereka  gundul,  membawa  sebuah  Serban  putih,  dan  tidak
                    menyandang Pedang bengkok ataupun Keris di Pinggang. 66

                    Barangkali  ini  adalah  rujukan  Barat  pertama  yang  jelas  tentang  para
               pengikut tarekat di Nusantara. Rujukan itu juga bercorak Kairo, khususnya
               dalam istilah yang digunakan sebagaimana dikomunikasikan oleh dua anggota
               muda  kalangan  elite  terdidik.  Kata  Agguy,  misalnya,  sangat  dekat  dengan
               varian Kairo dari Hajji (Haggi), gelar yang banyak digunakan oleh para guru
               Asia Tenggara.  Shalat  Jumat  dalam  teks  Gervaise  dirujuk  sebagai  Guman,
               dari pelafalan ala Mesir terhadap kata “Jumat” (al-gum‘a).  Namun, hal ini
                                                                 67
               tidak  menunjukkan  apa  pun  selain  tanda  kehadiran  seorang  cendekiawan
               yang berasal dari Mesir atau orang-orang Jawi yang pernah berguru kepada
               orang Mesir. Bahkan, Gervaise berusaha menunjukkan bahwa orang-orang
               taat Makassar hanya bermaksud meniru bentuk Islam saja, dan itu bukan
               Islam Kairo:

                    Dan,  sekarang  tidaklah  untuk  dibayangkan,  dengan  ketepatan  macam  apa
                    orang-orang Makassar melaksanakan Kewajiban yang dibebankan oleh Agama
                    mereka  yang  baru.  Mereka  tidak  melewatkan  Hari-Hari  suci  paling  biasa
                    sekalipun  yang  diwajibkan  tanpa  menunjukkan  Ketaatan  mereka,  dengan
                    Usaha yang keras, dengan suatu Amal Baik atau lainnya. Mengabaikan satu
                    Sujud,  atau  Membasuh  secara  sembrono,  dianggap  sebagai  Kejahatan  besar.
                    Beberapa dari mereka semata-mata karena Sentimen Pertobatan, seumur hidup
                    menghindari meminum Tuak-Palem, meski itu tidak dilarang oleh Hukum.
   39   40   41   42   43   44   45   46   47   48   49