Page 33 - EBOOK_Renasans Jogja
P. 33

menyaksikan hal itu! Contoh lain,   rumah kampung yang cukup besar.     Pada saat makan bersama itu topik
               bagi yang hidup makan seadanya akan   Dindingnya gedhek dari anyaman    perbincangan yang ringan-ringan
               lebih memilih makan di angkringan   bambu wulung. Pintunya kayu jati    ngalor ngidul tidak keruan, persoalan
               pinggir jalan. Tapi hal itu juga tidak   yang sudah berubah warna jadi   keluarga, bahkan negara dirembug
               ada bedanya sebenarnya. Setiap ada   kelabu. Lantainya masih tanah. Ada   hingga lahir solusi dan gagasan-gagasan
               orang yang lewat juga bisa melihat.   amben lebar di tengah. Di sisi utara   gemilang.
               Nah, bagaimana bisa makan kok jadi   terdapat tungku memanjang dengan
               tontonan? Begitulah kota, semua hal   bibir gosong. Di atas tungku, kira-              ***
               bisa menjadi tontonan.              kira berjarak satu meter dengan usuk,
                                                   dipasang paga untuk menyimpan       “Rikala jaman semana, nalika Landa
               Sekarang kita kembali ke dapur      jagung hasil panen yang akan awet   lan Jepang njajah Jawa, kene iki isih
               Plenthit. Tapi sebelumnya saya harus   dengan cara diasapi seperti itu.   alas gung liwang-liwung. Aku isih enom.
               menyampaikan bahwa Anda tidak                                           Mbiyen manggon ning Dusun Nungkep.
               perlu bertanya, bagaimana bisa saya   Seperti kaca jam dinding yang     Jaman semana aku sumpah, menawa
               sangat tahu dengan situasi yang terjadi   menghitam oleh jelaga, pilar-pilar   Jawa durung merdika aku rung arep rabi
               di rumah Plenthit? Tidak perlu! Sebab,   dapur, lemari, gledheg, juga klobot   karo mbahmu putri. Mbahmu putri iki
               dengan pelan, akan saya ceritakan   jagung itu pun menghitam. Bahkan,   kawet mbiyen pancen cikal bakale ana
               sedikit demi sedikit hal-hal di seputar   setiap pagi sebelum makan, gelas,   kene. Manggone ning baturan sisih kidul
               dapur keluarga Plenthit.            sendok, piring harus dilap karena   Kuburan Congen kae. Ning Gebang iki
                                                   terkena langes asap tungku dengan   mbiyen durung akeh jiwane. Isih isa
               Dul Lantip dan Mbah Harjo Martono   bahan bakar kayu kering yang        dietung nganggo driji, ora kaya saiki,
               tinggal satu atap. Dapur rumah      dikumpulkan dari kebun di sekeliling   samben pinggir dalan kok anane mung
               mereka pun satu atap. Rumah model   rumah yang memang berlimpah ruah    omah gedhong,” cerita Mbah Martono    33
               kampung yang besar cukup untuk      itu. Di sebelah tungku ada genthong   Kakung kepada Plenthit.
               menampung dua keluarga kecil yang   tempat penyimpan air yang separuh
               sesungguhnya besar itu. Dul Lantip   tubuhnya ditanam di tanah. Begitu   “Simbah tumut perang?” tanya Plenthit.
               adalah satu-satunya anak Mbah Harjo   juga hal yang akan terlihat jika melihat
               Martono yang tetap tinggal di desa.   bagian dapur sisi selatan. Entah   “Lha iya. Mbiyen tau tekan Ambarawa.
               Sementara Pak Man, Bu Mar, Bu       bagaimana, atau mungkin sudah       Mbiyen........” Mbah Martono Kakung
               Kus, dan Pak Ito memilih merantau   disepakati sebelumnya, Endang selalu   bercerita semakin panjang. Perkara
               dan tinggal di Jakarta. Tidak ada satu   memasak sendiri sesuai seleranya,   zaman dahulu kala memang tidak akan
               pun yang bekerja dan menetap di     dan Mbah Martono Putri juga masak   habis jika dibabar.
               Yogyakarta selain Dul Lantip. Dul   sendiri sesuai seleranya. Namun,
               Lantip seorang PNS, begitu pula     masing-masing selalu menyajikannya   Itu baru sepenggal dan terpaksa
               dengan Endang, istrinya. Mbah Harjo   bersama di amben. Lalu setiap sarapan   saya penggal karena jawaban dari
               Martono Kakung seorang veteran.     atau setiap makan malam mereka akan   pertanyaan Plenthit yang pendek tadi
               Sementara Mbah Harjo Martono Putri   duduk melingkar ngepung makanan    dijawab panjang lebar oleh Mbah
               seorang ibu rumah tangga biasa yang   yang sudah tersaji untuk makan    Martono Kakung. Dari mulai makan
               gemar berkebun dan menganyam tikar   bersama. Suasana akan semakin hangat   malam selepas magrib sampai azan
               pandan.                             tatkala bulan Ramadan tiba.         isya berkumandang cerita itu belum
                                                                                       selesai. Selepas salat isya di masjid yang
               Dapur di rumah keluarga Plenthit    Dapur selain sebagai tempat mengolah   memang tak jauh dari rumah, Mbah
               sangatlah sederhana. Dapur itu      masakan sekaligus menghidangkan     Martono Kakung akan melanjutkan
               berada di sisi timur rumah utama,   makanan, juga tempat mengolah       ceritanya sampai Plenthit tertidur.
               hanya terpisah longkangan. Bangunan   masalah dan merampungkannya.      Kalau sudah begitu Dul Lantip




                                                          Edisi 4/2017 | matajendela
   28   29   30   31   32   33   34   35   36   37   38