Page 34 - EBOOK_Renasans Jogja
P. 34
akan sedikit kerepotan karena harus ya Dul Lantip. Kalau keduanya tidak disengaja telah mengubah ruang
memmbopong Plenthit yang tertidur ada Mbah Martono sendirilah yang keluarganya menjadi ruang makan.
di atas amben dapur ke kamarnya. akan azan dengan napasnya yang Ada-ada saja memang.
pendek disertai suara serak oleh dahak.
Dasarnya Plenthit memiliki rasa “Mbah Kakung menawi dhahar mbok
ingin tahu yang besar. Plenthit Dan semenjak Mbah Martono Putri dados setunggal mawon wonten ruang
paling suka kalau simbahnya sudah meninggal dunia, suasana dapur pun makan, sinambi nonton tivi!” pinta Dul
bercerita. Mbah Martono Kakung mulai berubah. Hanya tungku Endang Lantip.
selalu menceritakan kepada Plenthit, yang selalu mengepulkan asap. Hanya
nama teman-temannya yang gugur Endang yang memasak untuk keluarga. “Ora. Aku ning pawon wae karo
di medan laga. Kisah-kisah leluhur Mbah Martono Kakung membiarkan ngrungokke RRI,” begitu jawab Mbah
nenek moyang yang diceritakan dengan tungku di dapur sisi selatan tidak Martono Kakung dengan menyebut
bersemangat oleh simbah. Sayang, digunakan. Teronggok dalam sepi RRI yang merujuk pada maksud
Plenthit tidak mencatatnya. Sehingga seperti perasaannya ditinggal pergi istri untuk menyebut radio. Bagi orang tua
pohon silsilah yang pernah diceritakan tercinta. seperti Mbah Martono Kakung, radio
oleh simbahnya itu pun tumbang. memang lebih pas di hati tinimbang
Tapi percayalah, mereka masih suka televisi.
*** berkumpul di dapur untuk makan dan
berbincang bersama. Di situ pulalah “Radio rak nggih mboten wonten
Dari banyak hal yang diceritakan berita bahagia bahwa Endang hamil gambaripun to, Mbah?” tanya Dul
Mbah Martono Kakung mengenai lagi mula-mula tersiar. Benar bukan, Lantip dengan maksud merayu agar
masa lalunya itu, kini Plenthit hanya bahwa semua rahasia tersimpan dan mau bersama-sama menonton televisi.
34 ingat lamat-lamat sejumlah nama orang terungkap justru di dapur.
yang sering diceritakan simbahnya. “Kowe rak ora ngreti wae, kaya-kaya tivi
Ada Mbah Karno, Mbah Harto, Sayangnya hal itu tidak berlangsung kuwi pancen nambah wawasan, nanging
Mbah Dirman, Mbah Cokro, dan lama. Karena menuruti permintaan delok wae mbesuk-mbesuke piye. Ya tivi
Mbah Kartini. Selain nama-nama itu, Plenthit, Dul Lantip membeli televisi kuwi sing bakal ngrusak mata lan ati
semua kisah yang tak pernah terjatat berwarna ukuran 21 inci. Sejak saat manungsa!” begitu kata Mbah Martono
dalam buku sejarah itu telah berlalu. itu tradisi makan bersama di dapur Kakung.
Bagaimana tidak, kisah mengenai pindah ke ruang keluarga. Tidak ada
dapur dan segenap peristiwa di lagi makan bersama sambil duduk Benar saja. Sejak Dul Lantip
dalamnya itu kini telah menjadi masa melingkar, beradu lutut ngepung membeli televisi, kini mereka jarang
lalu. makanan yang disajikan di dapur. sekali membincangkan persoalan-
Sambil menonton berita yang kala itu persoalan keluarga. Mereka malah
Saya harus mengatakan bahwa semua banyak menyiarkan tentang gejolak asyik membincangkan kisah keluarga
itu memang benar-benar terlewat. politik pasca tumbangnya Orde Baru, selebriti dan mikir terlampau tinggi
Semua itu terjadi semasa Mbah Dul Lantip, Endang, Plenthit makan mengenai politik, sebuah dunia yang
Martono Kakung dan Mbah Martono bersama. Hanya Mbah Martono yang sesungguhnya tidak mereka mengerti.
Putri masih sugeng. Saat itu, Plenthit memilih tetap makan di dapur. Televisi Mereka lebih sering nonton televisi
sebagai cucu satu-satunya yang tinggal yang dibeli Dul Lantip sedikit demi dari pada berbincang di dapur. Bahkan
serumah selalu mendapat hadiah kalau sedikit mengubah tradisi adiluhung itu. Mbah Martono Kakung yang kini di
Mbah Martono mendapat kiriman usianya semakin menua justru lebih
wesel uang pensiuanan. Plenthit sering Seperti rumah-rumah modern yang sering azan di masjid daripada Plenthit
diminta azan di mesjid oleh simbahnya. setiap bagian ruangan di rumahnya atau Dul Lantip yang hanyut oleh
Kalau bukan Plenthit, yang akan azan tertata, kini rumah Dul Lantip tanpa pesona televisi berwarna baru itu.