Page 102 - Layla Majnun
P. 102
Begitu ucapan sang pengendara hitam itu selesai, sebuah erang-
an putus asa keluar dari kedalaman jiwa Majnun. Ia terjatuh ke belakang
dan saat itu kepalanya menghantam sebuah batu dengan begitu keras-
nya hingga darah keluar dengan deras bagaikan air mancur dan mengubah
warna pasir di bawahnya menjadi merah. Ia berbaring di sana tak sadarkan
diri, bibirnya masih terbuka seakan menjeritkan sesuatu yang tak terde-
ngar oleh siapapun.
Sang pengendara, yang entah sebenarnya manusia atau jin,
merasa iba terhadap Majnun. Mungkin ia merasa malu dengan pengaruh
ucapannya kepada si orang gila itu, ia membungkuk di sebelah tubuh yang
meringkuk hingga Majnun kembali sadar.
Lalu dengan suara yang lebih halus dari sebelumnya, ia memohon
ampunan Majnun, “Tolong dengarkan aku, kumohon! Setiap kata yang
kuucapkan kepadamu adalah kebohongan. Ini semua adalah lelucon yang
menyedihkan, tak lebih dari itu. Layla tak pernah membohongimu ataupun
mengkhianatimu. Dan yang pasti ia tak pernah melupakanmu. Bagaimana
mungkin ia bisa melakukan itu?”
“Dan tentang suaminya, ya, statusnya memang sebagai suami:
mereka telah menikah selama setahun dan tak pernah sekalipun ia meng-
izinkan suaminya mendekatinya.”
“Ya, ia memang menikah dengan pria itu, namun kesetiaannya
hanyalah untukmu seorang. Ia telah mengurung dirinya dalam tendanya
dan di sanalah ia menderita, berusaha untuk merawat hatinya yang hancur
karena sangat mendambakanmu. Baginya tak ada pria lain di dunia ini,
dan tak ada detik yang terlewat tanpa memikirkanmu dan cintamu untuk-
nya.”
“Bagaimana mungkin ia dapat melupakanmu? Bahkan jika kalian
dipisahkan oleh seribu tahun, ia tetap takkan melupakanmu!”
Majnun mendengarkan perkataan si pengendara asing itu dengan
perhatian penuh. Tapi apakah ia mengatakan yang sebenarnya? Kata-kata
itulah yang ingin didengarnya, tapi apakah kata-kata itu diucapkan dengan
tulus? Meskipun begitu, kata-kata itu menyembuhkan hatinya yang sakit!