Page 103 - Layla Majnun
P. 103
Ia mulai terisak dan, duduk di atas pasir dengan airmata menetes
di pipinya, ia tampak bagaikan bocah yang kehilangan arah, bagaikan se-
ekor burung kecil yang sayapnya telah patah oleh hantaman kayu dan
batu. Ia tak tahu harus ke mana dan harus berbuat apa. Bahkan sajak-sajak
yang didendangkan dari bibirnya seolah sia-sia saja. Apalah artinya sajak-
sajak itu, pikirnya, jika untuk siapa ditujukannya sajak itu takkan pernah
mendengarnya.
Majnun menyeret dirinya bagaikan hewan yang terluka. Kesedihan
telah membuat tubuhnya kurus; nyaris tak ada hawa kehidupan dalam
tubuhnya. Satu-satunya yang ada dalam pikirannya hanyalah Layla; wajah
Laylalah yang dilihatnya setiap kali ia memejamkan matanya, dan bayangan-
nyalah yang terus ada setiap ia membuka matanya kembali.
Ia mendamba untuk berbicara dengannya, tapi bagaimana cara-
nya? Menyadari bahwa ia takkan pernah dapat mendendangkan sajak-
sajaknya di hadapan Layla, maka ia meminta angin untuk menyampaikan
kepada kekasihnya. Saat ia menyanyikan lagu-lagu cinta, angin membawa
kata-katanya pergi… namun tanpa ada balasan.
Anggur cinta yang tak berbalas sama pahitnya seperti wormwood,
namun begitu besarnya hasrat Majnun hingga ia tak sanggup menolak
untuk meminumnya. Begitu ia meminumnya, sajak-sajaknya pun tak ber-
henti mengalir:
Kau adalah penyebab kematianku saat aku masih hidup,
Hasratku untukmu bertumbuh, dan aku memaafkanmu.
Kau adalah sang mentari sementara aku adalah sang bintang di tengah
malam:
Kau muncul untuk mempermalukan sinarku.
Sorot matamu membuat setiap nyala lilin cemburu;
Mawar-mawar berkembang dan bermekaran atas namamu.
Berpisah darimu? Takkan pernah!
Kuakui cinta dan kesetiaanku hingga mati;
Aku akan tetap menjadi sasaran bagi seranganmu dan menderita siksaan:
Saat ku mati, darahku yang mengalir akan menjadi milikmu.