Page 184 - Layla Majnun
P. 184
oleh sang Takdir, oleh sentuhan dingin godaan terberat kehidupan. Dulu
api kehidupan menyala terang di dalam dirinya; kini yang ada hanyalah
kerdipan kecil, menjadi sebuah alat permainan angin yang dapat padam
sewaktu-waktu. Dulu Layla bersinar bagaikan bulan purnama. Kini yang
ada hanyalah bulan sabit yang pucat; sikapnya yang dulu diibaratkan pohon
cemara kini yang dapat dilihat hanyalah bayangan lemah. Layla adalah
bunga yang telah kehilangan kesegaran serta kelopaknya; Layla yang se-
karang bukanlah Layla yang dulu.
Tubuhnya diserang oleh demam; ruam-ruam serta bintik-bintik
muncul pada wajah serta lengannya. Kelelahan yang dirasakannya begitu
besar sehingga ia hanya dapat berbaring di atas tempat tidur. Ia menyadari
bahwa keberadaannya di dunia ini takkan lama lagi.
Ia tahu bahwa kematian telah mendekat karena ia dapat merasa-
kan keberadaan sang Pencabut Nyawa di ruangan itu, ia dapat merasakan
hawa dingin itu di lehernya. Menyadari bahwa waktunya hanya tinggal
sekejap saja, ia tak mengizinkan siapa pun menjenguknya kecuali ibunya.
Sebelum terlambat, ia memutuskan untuk mengungkapkan raha-
sianya untuk pertama kali sekaligus terakhir kalinya. Ia meraih tangan
ibunya dan berkata, “Ibuku tersayang, cahayaku sudah mulai pudar dan
tak lama lagi lilin hidupku akan padam. Sebelum kegelapan itu menjelang
dan jiwaku diambil, aku harus menceritakan apa yang ada dalam hatiku.”
“Aku tak punya pilihan lain selain mencurahkan segalanya; kese-
dihan telah membuka segel yang melekat pada bibirku dan aku sudah
tak tahan lagi. Satu-satunya pria yang kucintai – kepada siapa kutujukan
hidupku dan untuk siapa aku mati – berada sangat jauh dan tak dapat
mendengarku.”
“Tapi ibu bisa mendengarku! Dan karena ibu dapat mendengarku,
kumohon agar ibu mendengarkanku dengan baik dan lakukan apa yang
kuminta.”
“Jika aku telah mati, kenakanlah gaun pengantin pada jenazahku;
aku tak mau terbungkus kain kafan. Dandanilah aku selayaknya seorang
pengantin dan buatlah agar aku tampak cantik.”