Page 185 - Layla Majnun
P. 185

“Untuk memberi warna pada mataku, ambillah debu dari bawah
              kaki kekasihku; jangan gunakan warna nila tapi gunakan warna gelap
              dari kesedihannya; jangan gunakan air bunga mawar tapi gunakan airmata-
              nya; dan jangan pakaikan wewangian pada tubuhku tapi kenakan kese-
              dihannya padaku.”
                     “Gaun pengantinku harus berwarna merah darah, yaitu warna
              yang melambangkan kesyahidan. Bukankah aku seorang pejuang cinta?
              Merah adalah warna pesta dan festival. Bukankah kematianku adalah se-
              buah pesta, sebuah festival? Setelah itu, sebarkanlah tanah di seluruh
              tubuhku dan kuburkan aku.”
                     “Lalu aku akan menunggu. Aku akan menunggu hingga ia datang,
              karena ia pasti akan datang. Si pengelana yang tak kenal lelah, pengembara
              cinta, ia akan menemukan jalan menuju makamku dan di sanalah ia akan
              duduk dan memohon kemunculanku di hadapannya. Namun selubung
              tanah ini takkan pernah terangkat dan ia akan menangis. Tenangkan diri-
              nya, Ibu. Karena ialah teman sejatiku. Perlakukan ia dengan baik dan tun-
              jukkan kasih sayang kepadanya seolah ia adalah putra ibu sendiri.”
                     “Lakukan ini demi cinta Allah, dan karena aku sangat mencintai-
              nya; aku telah mencintainya lebih dari kehidupan, dan aku berharap Ibu
              akan mencintainya juga. Ia satu-satunya yang kumiliki, Ibu, dan aku me-
              nyerahkannya kepada ibu untuk dijaga dan dilindungi.”
                     Layla berusaha bernapas, matanya berputar-putar, butiran-butir-
              an keringat yang bulat bagaikan mutiara membasahi dahinya. Tapi kalimat-
              nya belum selesai. Suaranya semakin pelan saat ia melanjutkan, “Saat
              ia datang, ibu akan segera mengenalinya. Saat ia datang, sampaikan pesan-
              ku ini. Katakan kepadanya: ‘Ketika Layla meninggalkan dunia ini, ia pergi
              dengan menyebutkan namamu. Kata-kata yang diucapkannya hanya ber-
              kaitan denganmu; dalam kematian pun ia masih tetap setia kepadamu.
              Ia telah berbagi kesedihanmu di dunia ini dan kini ia telah membawanya
              sebagai bekal perjalanannya.”
                     “’Cintanya untukmu tidak ikut mati bersamanya; di manapun ia
              berada, ia masih terus mengharapkanmu. Memang benar, kau tak dapat
              menembus lapisan tanah yang menyelubunginya dan melihat matanya,
   180   181   182   183   184   185   186   187   188   189   190