Page 19 - Layla Majnun
P. 19

dapat melihatnya. Qays berjalan ke sana kemari dengan hati yang terlu-
              ka. Qays yang kehilangan, yang terlupakan; Qays yang menjadi korban sang
              takdir.
                     Semakin lama penderitaannya, semakin pula ia menjadi sosok
              yang diteriakkan semua orang kepadanya: Majnun, si orang gila. Apakah
              bukan kegilaan namanya jika menyala sepanjang waktu bagaikan lilin?
              Bukankah kegilaan namanya jika tak dapat makan ataupun tidur? Semakin
              keras usahanya mencari obat untuk menyembuhkan lukanya, semakin
              ia merasakan sakitnya. Dan saat malam tiba, momok dari cita-cita serta
              ambisinya yang sia-sia membawanya menuju pinggiran kota dan me-
              nuntunnya ke arah gurun, tanpa alas kaki dan hanya berbekal jubah yang
              menutupi bahunya.
                     Ia memang telah menjadi gila, namun ia juga seorang penyair.
              Akibat perpisahannya dengan Layla –perpisahan yang membuatnya men-
              jadi budak bagi gadis itu– membuatnya tergerak untuk menciptakan
              ode dan soneta terindah yang berisikan namanya, dan bait-bait sajak yang
              belum pernah didengar oleh siapapun juga. Di tengah ketenangan malam,
              ia menyelimuti dirinya dengan jubah dan mengendap-ngendap menuju
              tenda Layla. Kadangkala ada yang menemaninya –teman-teman yang
              seperti dirinya, pernah merasakan keindahan cinta dan juga pedihnya
              perpisahan– namun seringkali ia pergi sendirian. Ia bergerak bagaikan
              angin gurun menuju tenda Layla, berdiri diambang pintu tenda dan meng-
              ucapkan doa, kemudian bergegas pergi secepat ia datang.
                     Begitu dekat, namun terasa begitu jauh. Betapa sulit baginya un-
              tuk bergerak menjauh dari tenda kekasihnya dan kemudian pergi! Dalam
              perjalanan menuju tenda Layla, ia seakan terbang; namun tatkala melang-
              kah pergi, ia berjalan terseok-seok bagaikan orang yang sedang mabuk
              atau hewan yang sedang terluka. Mengapa takdir tidak berpihak kepa-
              danya? Hatinya hancur bagaikan sebuah kapal yang terjebak di tengah
              hujan badai; sisa-sisa dirinya kini bergerak mengapung berkat belas kasih
              sang ombak. Rumahnya telah menjadi penjara di mana semua orang ber-
              bicara namun tak pernah mendengarkannya; semua orang memberikan
              nasihat namun tak pernah bisa memahaminya. Ia telah tiba di satu titik
   14   15   16   17   18   19   20   21   22   23   24