Page 31 - Layla Majnun
P. 31
hantamku hingga mati! Tak adakah yang bersedia menyerahkanku ke
tangan malaikat maut? Tak adakah yang ingin menyelamatkanku dari
diriku sendiri dan juga menyelamatkan dunia dari kegilaanku? Karena aku
sudah benar-benar gila; aku adalah orang yang canggung, aku adalah iblis
yang menyamar menjadi manusia! Aku hanyalah rasa malu bagi keluarga-
ku dan onak dalam sukuku: dengan menyebutkan namaku saja dapat mem-
buat siapapun yang mengenalku akan menggantung diri mereka dengan
rasa malu. Siapapun bisa menumpahkan darahku: kunyatakan hal itu
sah untuk dilakukan. Karena aku adalah orang yang berada di luar perlin-
dungan hukum, oleh karena itu siapapun yang membunuhku takkan di-
anggap bersalah.
“Jadi, selamat tinggal, teman-temanku, karena aku harus pergi.
Semoga Allah selalu memberkahi dan menjaga kalian, dan semoga kalian
semua memaafkanku. Tak ada yang bisa kalian lakukan untukku sekarang:
gelas itu telah terjatuh dari kedua tanganku dan anggur itu telah tumpah.
Tak ada lagi kebahagiaan, tak ada lagi akal sehat, yang tersisa hanyalah
serpihan-serpihan setajam pisau cukur; lihatlah bagaimana serpihan-
serpihan itu memotongku.”
Semua orang yang mengelilinginya memandangnya dengan tak
percaya tatkala ia berbicara, bertanya-tanya apakah ia menyadari keber-
adaan mereka. Lalu seolah hendak melenyapkan tanda tanya mereka,
ia menoleh ke arah semua orang dan berkata, “Aku tak mengharapkan
kalian akan mengerti apa yang kukatakan, karena kalian semua tak me-
nyadari betapa tersiksanya aku. Jadi, tinggalkan aku, biarkan aku pergi.
Dan jangan mencoba untuk mencariku, karena pencarian kalian hanya
akan sia-sia saja. Bagaimana mungkin kalian akan menemukanku karena
aku tersesat, bahkan bagi diriku sendiri sekalipun? Pergilah, karena aku
tak sanggup lagi menghadapi siksaan serta tekanan dari kalian. Biarkan
aku sendiri dengan kesedihanku. Tak perlu kalian mengantarku pergi dari
kota ini, karena aku akan pergi sendiri. Selamat tinggal!”
Namun Majnun tak lagi memiliki kekuatan untuk bergerak. Ia
malah jatuh berlutut di tanah, seolah sedang berdoa, dan mulai memo-
hon agar kekasihnya bersedia membantunya.