Page 64 - Layla Majnun
P. 64
Nowfal duduk dalam diam dan sedih, bertanya-tanya bagaimana
mungkin rasa pahit itu tak terdeteksi dalam cangkir persahabatan mereka.
Apa yang harus dikatakannya? Bagaimana ia bisa menanggapinya? Ia
tak menyiapkan senjata apapun untuk serangan ini, tak ada kata yang pan-
tas untuk dapat memukul mundur serangan tiba-tiba ini. Yang dapat ia
lakukan hanyalah menurunkan pandangannya untuk menutupi kesedihan
yang dirasakannya.
Sangatlah jelas bahwa segala sesuatu yang terjadi selama bebe-
rapa bulan itu tidak dapat memadamkan hasrat Majnun kepada Layla;
api itu justru menyala semakin besar. Majnun tidak peduli seberapa berat-
nya tugas itu: apapun risiko ataupun bahaya yang harus dihadapi, Nowfal
telah berjanji dan kini ia terikat oleh janji itu. Ia harus memenuhi janjinya.
Dengan getir, Majnun melanjutkan ucapannya, “Betapa mudah-
nya kau membuat janji-janji itu, dan kini kau bungkam! Apakah kau akan
tetap duduk di sana dan melihat hatiku hancur, sementara kau tak berbuat
apa-apa? Kesabaranku telah habis; akal sehatku pun demikian. Jika kau
tak membantuku, aku akan mati! Atau mungkin aku harus meminta per-
tolongan dari teman-teman yang lebih baik? Aku dulu lemah, tanpa teman,
hancur dan haus akan air kehidupan, dan kau berjanji akan mengubah se-
galanya. Namun demikian, kau tak berbuat apapun –kecuali melanggar
janjimu. Pria macam apa kau ini? Apakah Allah tidak meminta umatnya un-
tuk memberikan makanan kepada mereka-mereka yang sedang kelapar-
an, untuk memberikan minuman kepada mereka-mereka yang sekarat
karena dahaga? Penuhi janjimu, jika tidak pria gila ini akan kembali ke
gurun tempat kau menemukannya. Persatukan aku dengan Layla atau aku
akan mengakhiri hidupku yang hancur ini!”