Page 66 - Layla Majnun
P. 66

sesuatu yang tak mungkin, lalu mengancam kami dengan kematian saat
            kami tak  bersedia  menyerahkannya  kepadamu? Kau  iblis  dari  neraka!
            Maka lawanlah kami, jika memang itu kehendakmu, dan hadapkan kami
            ke pedangmu jika memang kau mampu!”
                   Kemarahan Nowfal memuncak, ia lalu mengirimkan pesan kedua:
                   “Kalian manusia-manusia menyedihkan yang bodoh! Apakah
            kau buta? Tidakkah kau lihat betapa kuatnya kami dan betapa tajamnya
            pedang-pedang kami? Apakah kalian berpikir bahwa kalian benar-benar
            mampu melawan kami? Dapatkah beberapa orang dengan peralatan usang
            melawan sepasukan orang bersenjatakan besi yang disulut oleh kemarah-
            an? Ayolah, gunakan akal sehatmu selagi bisa! Lakukan apa yang kami
            minta dan selamatkan diri kalian, jika tidak, maka bencana akan membanjiri
            kalian!”
                   Namun lagi-lagi sang bentara kembali dengan surat penolakan
            yang berisikan cacian dan cemooh. Kemarahan Nowfal sudah tak tertahan-
            kan lagi. Sambil menarik pedang dari sarungnya, ia memberikan pertanda
            kepada pasukannya untuk bergerak maju. Dengan pedang-pedang yang
            berkilauan di bawah sinar mentari dan genggaman tangan yang terkepal
            di udara, pasukan Nowfal melaju menuju perkemahan Layla bagaikan se-
            kawanan burung hering yang kelaparan.
                   Terdengar bunyi dentingan baja dengan baja, ringkikan kuda,
            jeritan, teriakan serta tangisan mereka-mereka yang terluka. Terlihat
            tikaman pedang ke dada, tombak ke paha, dan kapak ke kepala. Terdengar
            isak tangis para wanita dan anak-anak yang berkumpul di dalam tenda.
            Tubuh-tubuh yang terluka, dari kepala yang terlepas dari tubuh, serpihan-
            serpihan daging yang berjatuhan di kaki. Darah-darah yang mengalir bagai-
            kan sungai, membuat tanah berubah warna menjadi merah, ungu dan hitam.
            Dan di mana-mana terlihat kematian yang mengenaskan………
                   Hanya Majnunlah satu-satunya orang yang tak ikut berperang.
            Bukankah pembunuhan besar-besaran ini terjadi karena dirinya? Meskipun
            begitu, ia hanya berdiri di satu sisi, pedangnya masih berada di dalam sarung,
            dan melihat kejadian itu tanpa daya. Ketidakmampuannya berbuat apa-
            apa bukanlah karena ia seorang pengecut yang ketakutan, tapi jauh lebih
   61   62   63   64   65   66   67   68   69   70   71