Page 95 - Layla Majnun
P. 95
Dan sekian lamanya ia digerakkan semakin jauh dan semakin
jauh oleh kehebatan lawannya dalam berbicara. Pada akhirnya, ia menye-
rah dan sebuah tanggal pun ditetapkan untuk hari penikahan.
Ketika hari pernikahan tiba, matahari menjatuhkan sinarnya di
atas wajah malam, seperti seseorang yang menjatuhkan kerudung ke
wajah sang pengantin wanita. Ayah Layla bangun lebih pagi, antusias untuk
menyiapkan pernikahan; di siang harinya, segalanya telah siap.
Ibn Salam, rombongannya serta para tamu dituntun menuju
sebuah paviliun yang telah didirikan khusus untuk merayakan pernikah-
an itu. Menurut tradisi yang berlaku, para tamu duduk bersama, menga-
gumi hadiah-hadiah yang diterima oleh sang pengantin wanita, melempar-
lemparkan emas dan perak ke udara, menikmati makanan lezat dan saling
menjalin hubungan pertemanan. Gelak tawa memenuhi udara dan semua-
nya merasa damai.
Tapi bagaimana dengan Layla? Ia duduk di ruang pengantin,
dikelilingi oleh wanita-wanita yang ramai berbicara dan anak-anak yang
merengek-rengek.
Para wanita telah menghiasi dinding ruangan itu dengan kain
sutera dan permadani, kini mereka mulai membakar wewangian di mang-
kuk-mangkuk kuningan. Aroma manisnya memenuhi ruangan. Begitu sema-
ngatnya mereka dalam persiapan itu sehingga mereka tak memperhati-
kan airmata Layla.
Di antara semua orang yang sedang bergembira dan tersenyum,
hanya dirinya sendirilah yang sedang bersedih. Belati kesunyian dan ke-
putusasaan yang sedingin es menghujam jiwanya; tak pernah sebelum-
nya ia merasa begitu sendiri. Betapa dekatnya ia dan Majnun untuk meraih
tujuannya… dan kini segalanya telah sirna: begitu cangkir itu menyen-
tuh bibir mereka, segera saja pecah dan menumpahkan anggur kebaha-
giaan ke pasir.
Tak ada yang dapat membaca pikiran Layla; tak ada seorang pun
yang tahu badai yang bergejolak dalam hatinya. Dapatkah seorang pelari
melihat duri yang telah membuat kakinya pincang? Bahkan jika ia memiliki
keberanian untuk menumpahkan ketidakbahagiaannya, keluarganya