Page 201 - Perspektif Agraria Kritis
P. 201
Perspektif Agraria Kritis
Persaingan ideologi dunia sebagai bagian integral dari
Perang Dingin telah mendorong para tokoh pemikir Muslim dari
berbagai negara untuk menoleh kembali kepada Islam dan
mempertimbangkannya sebagai “ideologi alternatif” di antara
dua ekstrim ideologi yang saling berlawanan. Di satu pihak
adalah ideologi kapitalisme yang menjamin kebebasan individu
dan persaingan ekonomi yang tanpa batas. Di pihak lain adalah
ideologi sosialisme yang menjanjikan keadilan sosial melalui
kontrol negara atas hak milik dan kebebasan individu.
Apabila dicermati, argumen pengharaman land reform
yang tercantum dalam keputusan Konferensi 1961 ternyata
banyak menggaungkan perdebatan ideologis dalam konteks
ketegangan Perang Dingin di atas. Hal ini terlihat jelas dari
referensi yang dijadikan sebagai landasan keputusan ini untuk
membela kebebasan “hak milik” dan sekaligus mengharamkan
land reform. Alih-alih mengutip literatur fiqh klasik seperti yang
lazim dijumpai dalam forum-forum NU, Konferensi 1961 itu
justru mendasarkan keputusannya terutama pada dua karya
kontemporer berikut ini: Al-Islâm wa Awdlâ‘unâ al-Siyâsiyyah
karya Abdul Qadir ‘Awdah (195x) dan Al-Islâm wa Hâjatu ‘l-
Insân Ilayh karya Muhammad Yusuf Musa (1959).
Dua tulisan di atas termasuk karya polemis yang oleh
penulisnya ditujukan untuk menunjukkan keunggulan Islam
dibanding ideologi kapitalisme dan sosialisme. Sudah barang
tentu, menggunakan argumen pembelaan “hak milik” dalam
kedua karya ini untuk mengharamkan land reform adalah
sesuatu yang “salah alamat”. Sebab, berbeda dari sosialisme,
UUPA justru mengakui hak milik. Namun, pada saat yang sama,
UUPA juga menegaskan bahwa tanah memiliki fungsi sosial.
Land reform dijalankan bukan untuk menghapuskan hak milik,
13
melainkan justru untuk mewujudkan fungsi sosial dari tanah.
13 Dalam pengertian ini, UUPA memiliki karakteristik neo-populis,
bukan sosialis dan apalagi kapitalis. Lihat: Wiradi (1999: 156-157).
136