Page 203 - Perspektif Agraria Kritis
P. 203
Perspektif Agraria Kritis
kelas dan ideologi partai, serta untuk meraih dukungan umum
dari desa (Kartodirdjo 1984: 149-150).
Strategi ganda lantas dilakukan oleh PKI. Di satu sisi,
PKI harus bersedia menerima bahwa “segala sesuatu harus
menggunakan pendekatan parlemen”. Di sisi lain, PKI harus
“meningkatkan konflik di pedesaan”. Namun, sejarah telah
mengajarkan bahwa “keadaan tak bertanah saja bukan sumber
ketegangan di desa” dan bahwa “kaum tani biasanya bangkit
jika di dalam keadaan putus asa mereka melihat adanya
harapan” (151-152). Untuk itu, PKI mulai “menggunakan rasa tak
puas petani” (150) melalui agitasi yang berpusat pada krisis
ekonomi di pedesaan. Pada saat yang sama, PKI menggalakkan
kampanye “menjanjikan pembagian tanah dan mengambil
prakarsa untuk melaksanakan land reform” (152).
Dalam konteks semacam inilah keputusan keharaman
land reform dikeluarkan. Tampaknya, keputusan ini semula
dikeluarkan oleh forum NU di tingkat daerah sebagai respon
terhadap agitasi dan kampanye PKI, sekaligus sebagai upaya
menghambat strategi radikalisasi petani melalui pelaksanaan
land reform. Keputusan di tingkat lokal ini kemudian dibawa
ke forum NU yang lebih tinggi guna memperoleh pengesahan
16
dan sekaligus legitimasi di tingkat nasional.
Memasuki tahun 1964, sebagai reaksi atas upaya para
tuan tanah menghambat land reform, PKI “mulai beragitasi
tentang aksi radikal yang mengakibatkan terjadinya letupan
dahsyat” yang berlangsung sepanjang tahun. Aksi radikal yang
16 Dugaan semacam ini bukannya tanpa dasar. Dokumen Ahkamul
Fuqaha’ menyebutkan bahwa keputusan keharaman land reform ini
ditetapkan sebagai jawaban atas pertanyaan berikut: “Apakah
keputusan diharamkannya land reform kecuali dalam keadaan
dharurat itu benar atau tidak?” (AF: 298). Seperti disinggung di atas, ada
kemungkinan bahwa keputusan terdahulu mengenai land reform (yang
kesahihannya ditanyakan kepada para peserta Konferensi)
dikeluarkan oleh forum NU di tingkat daerah.
138