Page 206 - Perspektif Agraria Kritis
P. 206
Bagian V. Kiprah NU di Bidang Agraria
dengan gigih membantah pandangan kiai-kiai yang menentang
pelaksanaan UUPA dan UU Perjanjian Bagi Hasil (UUPBH).
Menariknya, bantahan itu beliau artikulasikan dalam bentuk
kritisisme di seputar aspek etis dan historis dari penguasaan
tanah itu sendiri. Sebagaimana dikisahkan kembali oleh Gus
Dur (KH. Abdurrahman Wahid):
“Di masa menghebatnya aksi sepihak PKI
dilancarkan, ia [Kiai Muchith] harus ribut
dengan kiai-kiai lain yang menentang UUPA dan
UUPBH. Para kiai itu memakai argumentasi
bahwa tidak ada pembatasan hak milik dalam
mazhab Syafi’i.
Tetapi Kiai Muchith menyelamatkan diri secara
politis dengan pertanyaan: 'Walaupun tidak ada
pembatasan seperti itu, bukankah ada larangan
memperoleh hak milik secara tidak halal?
Dapatkah sampeyan membuktikan bahwa
petani kaya yang mempunyai 50 hektar tanah
memperoleh[nya] dengan halal? Bukannya [hal
itu] perampasan si kaya atas si miskin melalui
gadaian sawah yang kedaluwarsa? Atau sebagai
sitaan atas barang jaminan yang jadi milik
semengga-mengganya dari petani miskin?
Waktu itu ia didamprat kanan-kiri, sampai-
sampai mendapat predikat yang dalam istilah
sekarang sama dengan ‘nyentrik’”. (Wahid
2000: 10)
Tidak hanya di daerah, pandangan yang mendukung
land reform semacam di atas juga disuarakan dengan tegas di
tingkat pusat dan bahkan dilakukan secara kelembagaan.
Sebagai misal, pada peringatan Hari Tani 24 September 1964,
Ketua Umum Pengurus Besar Pertanu, H. Mohammad Munasir,
menyampaikan pidato sebagai berikut:
“… sesudah Peringatan Hari Tani ini hendaknya
kita kerja lebih keras dengan semangat gotong
royong agar Undang-Undang Pokok Agraria
141