Page 202 - Perspektif Agraria Kritis
P. 202
Bagian V. Kiprah NU di Bidang Agraria
IJTIHAD AGRARIA NU DI TENGAH PERSETERUAN POLITIK
14
NASIONAL
Uraian terakhir mengenai UUPA ini mengantarkan pada
konteks yang kedua, yaitu situasi perpolitikan nasional pada era
1960-an yang ditandai persaingan keras antara kekuatan militer,
nasionalis, agama dan komunis—dengan peran kunci Presiden
Soekarno yang berusaha menjadi poros penyeimbang. Seperti
dapat disimpulkan dari Kartodirdjo (1984), persaingan politik ini
telah menyeret land reform dari agenda nasional menjadi sekedar
“proksi” bagi kekuatan-kekuatan itu dalam memperebutkan
dukungan petani dan dominasi politik di desa. Namun, seperti
ditulis Kartodirdjo, manipulasi politik atas kaum tani ini:
“… pada pokoknya akan lebih menguntungkan
partai-partai sponsor dibandingkan bagi kaum
petani itu sendiri. Mereka tak banyak
memperoleh keuntungan dan mereka menjadi
sangat terlibat dalam persaingan antara partai-
partai.” (Kartodirdjo 1984: 122)
Partai Komunis Indonesia (PKI), yang di bawah Aidit
15
memilih menjadi bagian dari rezim Nasakom, harus bersedia
melunakkan strategi radikalnya dan menempuh pendekatan
“revolusi parlementer”. Dalam situasi demikian, pelaksanaan
land reform telah memberi PKI kesempatan langka untuk
“melaksanakan politik nasional di desa” demi “memperbaiki
kedudukan pemilihan [electoral] secara keseluruhan, yang
memungkinkan PKI memperoleh genggaman yang lebih kuat
dalam urusan-urusan pemerintahan”. Hal ini dilakukan PKI
dengan menjadikan tuntutan land reform sebagai gerakan
untuk meradikalisasi massa petani, memperkuat identitas
14 Paparan seputar konteks radikalisasi petani di pedesaaan pada bab
ini untuk sebagian besar didasarkan pada Kartodirdjo (1984).
15 Nasakom (akronim dari Nasionalis, Agama, Komunis) adalah unsur-
unsur kekuatan politik pendukung “Demokrasi Terpimpin” di bawah
pimpinan Presiden Soekarno.
137