Page 212 - Perspektif Agraria Kritis
P. 212

Bagian V.  Kiprah NU di Bidang Agraria


              karet. Pertanu bersama-sama Sarbumusi (badan otonom NU di
              bidang perburuhan) berusaha membela rakyat dari ancaman
              pengambilalihan  tanah  ini.  Pada  23  Juni  1966,  surat  protes
              dilayangkan  Pengurus  Pertanu  Cabang  Banyuwangi  kepada
              pimpinan  PPN  Karet  XVI.  Surat  itu  berisi  empat  tuntutan
              sebagai berikut:
                     “1.   Supaya  fihak  perkebunan  membatalkan
                         rencana  untuk  memperkebunkan  tanah-
                         tanah  yang  sudah  dimanfaatkan  rakyat,
                         baik  yang  sudah  menjadi  persawahan,
                         perladangan dan perkampungan.
                     2.  Supaya     fihak   perkebunan      segera
                         menghentikan  pembuatan  lobang-lobang
                         di atas tanah tanaman-tanaman rakyat.
                     3.  Supaya fihak perkebunan segera mengganti
                         kerugian  nilai  hasil  tanaman  rakyat  yang
                         rusak  akibat  pembuatan  lobang  yang
                         dipaksakan kepada rakyat.
                     4.  Supaya     fihak   perkebunan      segera
                         mengadakan      perundingan/musyawarah
                         dengan  ormas  tani  PERTANU  dan
                         SARBUMUSI baik tingkat Cabang maupun
                         ranting.”  (Dikutip  dari  Luthfi  2017:  151
                         dengan penyesuaian ejaan)

                     Kegigihan  Pertanu  membela  kepentingan  rakyat  ini
              membuahkan hasil yang menggembirakan. Pemerintah melalui
              SK  No.  I/AGR/1/XI/HM/01.Perk/1968  akhirnya  menetapkan
              tanah afdeling Wadung Barat seluas 28,6404 hektare sebagai
              Tanah Objek Landreform (TOL). Dari sini, 26,491 hektare di
              antaranya kemudian diredistribusikan kepada rakyat.

                     Kasus kedua adalah tanah bekas milik H. Bahrowi di
              desa  Sukorejo,  Kecamatan  Bangorejo.  Tanah  ini  pada  1964
              dinyatakan sebagai tanah guntai sehingga telah diredistribusi
              kepada 43 petani penggarap. Namun, dengan memanfaatkan
              kekisruhan pasca “tragedi nasional 1965”, sekelompok orang
              yang terdiri atas Bahruddin, Mochtar, Marzukni dan Rahmah


                                          147
   207   208   209   210   211   212   213   214   215   216   217