Page 181 - buku 1 kak emma_merged (1)_Neat
P. 181
Hasril Chaniago, Aswil Nazir, dan Januarisdi
Ika Daigaku sendiri boleh dikata adalah kelanjutan
Sekolah Tinggi Kedokteran (GHS) yang ditutup setelah
Jepang masuk. Pada awalnya Jepang memang menutup semua
sekolah, termasuk GHS. Tapi beberapa bulan setelah berkuasa
di Indonesia, sekolah-sekolah mulai dibuka kembali. Sekolah
Tinggi kedokteran ini dibuka kembali bukanlah atas keputusan
Jepang, tetapi adalah atas inisiatif sejumlah eks mahasiswa GHS
dan dokter Indonesia yang mengajar di sana, sebagaimana kelak
dipaparkan oleh Dokter Soejono Martosewodjo, M.D., M.P.H.
Menurutnya, setelah tentara Jepang menutup semua sekolah
dan perguruan tinggi, baru beberapa bulan setelah kapitulasi
(penyerahan) Belanda sekolah-sekolah dibuka kembali, bermula
dari sekolah dasar, sekolah menengah dan kejuruan. “Untuk
mengisi kekurangan dokter, maka mahasiswa (eks GHS) yang
telah cukup menjalankan co-schap juga dari Surabaya diuji oleh
guru besar yang dikeluarkan buat keperluan itu dari tempat
tawanan”. 11
Atas inisiatif dua orang mahasiswa eks GHS, Soejono
Martosewojo dan Tilam Purwohusodo bersama Dokter
Abdulrasjid dan beberapa orang dokter lain, dibentuk satu
panitia untuk mempelajari kemungkinan dibuka kembali
Lembaga Pendidikan Dokter. Panitia dimaksud akhirnya
terbentuk dengan susunan Dr. Achmad Mochtar, Dr. Asikin
Widjaja Koesoema, Dr. Hidayat, Dr. Zainal, Dr. Mohammad
11 Dokter Soejono Martosewujo MD/MPH, “Risalah Pembentukan Djakarta Ika
Daigaku”, dalam Moh. Ali Hanafiah dkk, 125 Tahun Pendidikan Dokter di
Indonesia, Jakarta: 1976, hlm 33-34.
152