Page 235 - buku 1 kak emma_merged (1)_Neat
P. 235
Hasril Chaniago, Aswil Nazir, dan Januarisdi
Pengalaman dan Kesaksian Dr. Moh. Ali Hanafiah
6
Pengalaman dan kesaksian Dr. M. Ali Hanafiah ini
dia tulis di dalam buku Drama Kedokteran Terbesar yang
diterbitkan Yayasan Gedung-Gedung Bersejarah Jakarta (1976).
Di bawah ini dikutip secara utuh pengalaman dan kesaksian
Hanafiah tersebut:
Akhir September 1943 Pemerintah Militer Jepang yang berkuasa di
Indonesia, memindahkan saya dari rumah sakit Tangerang ke Jakarta
untuk diangkat jadi Assten Profesor pada Ika Daigaku (sebelum
perang Geneeskundige Hogeschool) merangkap pegawai Eisei Sikenjo
(Laboratorium Eijkman).
Hari Sabtu 7 Oktober 1944 kira-kira pukul 11 pagi waktu saya
mempersiapkan pelajaran praktikum farmasi di salah satu ruangan
Sekolah Tinggi Kedokteran, datang Sdr. Soekro dari administrasi
Laboratorium Eijkman memberitahukan bahwa di sana menanti
seorang Jepang dalam pakaian preman, dengan pertanyaan; “Hanafiah
kah”, kemudian memerintahkan saya untuk naik ke tingkat atas
bagian perpustakaan, dengan tidak mengizinkan memasuki kamar
saya lebih dahulu. Di ruang perpustakaan berdiri berderetan Dr.
Djuana Wiradikarta, para analis Jatman, Soebekti dan lain-lain.
Sebelum saya dapat bersuara menanyakan apa artinya ini semua,
telah terdengar hardikan si Jepang yang menjaga di pintu, “Diam,
tidak boleh bicara-bicara”. Begitulah dalam suasana hening, tetapi
6 Mohammad Ali Hanafiah lahir di Padang Panjang (Sumatera Barat) 6 Agustus
1901, adalah adik ipar Achmas Mochtar (adik kandung istri Mochtar, Siti Hasnah).
Setelah menamatkan ELS di Bukittinggi (1917) ia meneruskan ke STOVIA dan
memperoleh diploma Ind. Arts tahun 1926. Sebelum bertugas sebagai dokter
pemerintah di Tanggerang dan diperbantukan ke Lembaga Eijkman, Hanafiah
pernah bertugas di CBZ Surabaya, dan sebagai dokter pemerintah di Solok,
Baturaja (Sumatera Selatan), dan Malang (Jawa Timur) (Gunseikanbu:313).
206