Page 256 - buku 1 kak emma_merged (1)_Neat
P. 256

Prof. Dr. Achmad Mochtar: Ilmuwan Kelas Dunia Korban Kejahatan Perang Jepang



                     mendjual kita kepada Djepang? Kenapa Bung Karno sampai

                     hati memberikan rakjat kepada mereka Apakah karena Bung

                     Karno merasa, kalau tidak dilakukan pekerjaan kotor ini, toch

                     orang lain akan melakukanja?”
                             Mendengar desakan anak-anak muda itu, yang mungkin

                     dianggap terlalu lancang, Sukarno marah besar dan memukulkan

                     tinjunya  ke  atas  meja.  Lalu  berkata  dengan  “pukulan  balik”

                     khas Sukarno,
                             Tidak! Sekali-kali tidak! Saja tidak pernah membudjuk

                     hatiku untuk melakukan apa jang dilakukan oleh orang lain.

                     Ini adalah tjara berpikir negatif. Saja tidak akan mentjoba

                     untuk melepaskan setjara mental segala beban ini dari hatiku,

                     dengan mencari djalan keluar untuk kepentingan diri sendiri.
                     Saja berpikir setjara positif. Bagiku, dengan memberikan lebih

                     banjak kepada Djepang sesuatu yang mereka perlukan, saja

                     dapat menuntut lebih banjak konsesi jang kuperlukan. Dan ini

                     adalah tjara jang positif menudju kemerdekaan.
                             Dalam setiap peperangan ada korban. Tugas seorang

                     Panglima adalah untuk memenangkan perang. Sekalipun

                     akan mengalami kekalahan dalam beberapa pertempuran

                     ditengah djalan. Andaikata saja terpaksa mengorbankan ribuan

                     djiwa demi menjelamatkan djutaan orang, saja akan lakukan.
                     Kita berada dalam suatu perdjoangan untuk hidup. Sebagai

                     pemimpin dari negeri ini saja harus mengorbankan perasaan

                     lekas terharu.

                             Selanjutnya Sukarno menatap mata mereka satu persatu.

                     “Duduklah,” katanya mengeluh. “Adjukan pertanjaanmu yang


                                                           227
   251   252   253   254   255   256   257   258   259   260   261