Page 319 - buku 1 kak emma_merged (1)_Neat
P. 319
Hasril Chaniago, Aswil Nazir, dan Januarisdi
Ade Mochtar tidak kembali ke Jakarta hingga ibunya meninggal
di tahun 1963.
Di sini kita bisa memahami betapa galaunya hati Ade
Mochtar yang setelah kehilangan ayah tercintanya, kini
menghadapi dilema baru. Ia harus memilih antara kecintaannya
kepada tanah kelahiran atau menetap di negeri asal istrinya
demi keamanan keluarga. Sebuah pilihan yang sulit memang.
Akhirnya Dr. Imramsjah Ade Mochtar memilih untuk menetap
di Belanda. Keputusan berat ini dilakukannya pada tahun 1960
dengan memilih menjadi warga negara Belanda.
Walaupun telah menjadi warga Negara Belanda, hal itu
tidak bisa menghapus rasa penyesalannya yang urung pamit
kepada ibunya. Penyesalan itu diungkapkan Ade ke adik
sepupunya, Asikin Hanafiah, yang ditemuinya di bandara
Schiphol ketika Asikin sedang transit menuju London untuk
melanjutkan pendidikan kedokteran pertengahan 1960-an.
Dalam pertemuan itu, Imramsjah Ade Mochtar yang kemudian
menjadi profesor di bidang hematologi pediatrik di Universitas
Amsterdam, menyampaikan niatnya untuk kembali ke
Indonesia setelah pensiun. Ia ingin menghabiskan masa tuanya
dengan membaktikan pengetahuannya di tanah leluhurnya.
Ia ingin tinggal di Bukittinggi. Namun rupanya Tuhan
berkehendak lain. Dr. Imramsjah Ade Mochtar meninggal
secara mendadak di saat usianya 62 tahun, pada 18 April 1980.
Ia meninggalkan seorang istri dan dua anak. Putri keduanya,
Monique Hasnah Mochtar lahir di Amsterdam pada 1961. Kini
kedua anaknya, Jolanda dan Monique telah menjadi guru besar
290