Page 126 - Memahami dan Menemukan Jalan Keluar dari Problem Agraria Krisis Sosial Ekologi
P. 126
kan yang tidak mengganggu karet sebagai tanaman utama,
di antaranya, umbi-umbian, singkong, dan jagung.
Bagi hasil yang diberlakukan adalah 80:20, petani men-
dapatkan bagian 80% dari hasil panen sedangkan 20% diserah-
kan pada perusahaan dibawah koordinasi mandor. Dalam
perkembangannya, sistem bagi hasil tidak lagi dalam bentuk
hasil panen, namun digantikan dengan uang yang jumlahnya
disepakati antara petani dan perusahaan (mandor).
Luasan tanah HGU PT. Cipicung yang dibuka aksesnya
pada masyarakat beragam antara satu petani dengan petani
lainnya. Tidak ada pengaturan tertentu mengenai luasan.
Petani diperbolehkan menggarap berapapun luas tanah sesuai
dengan kemampuan. Luasan tanah yang digarap oleh petani
berkisar antara 100-600 bata.
Penguasaan Tanah Pasca-Okupasi di Pasawahan:
Pengkaplingan Tanah oleh Petani
Okupasi tanah oleh petani Pasawahan bermula tahun
2002. Proses ini diawali adanya pendidikan kesadaran politik
dan hukum pada petani oleh Sarikat Petani Pasundan (SPP).
SPP memberikan pendidikan kritis mengenai hak-hak petani
terhadap tanah HGU yang sudah habis masa berlakunya atau
diterlantarkan oleh pemiliknya. Dalam pendidikan tersebut
petani mendapatkan pemahaman bahwa tanah HGU yang
sudah habis masa berlakunya dan atau diterlantarkan dapat
diambil-alih haknya oleh petani. Proses inilah yang kemudian
menginisiasi terbentuknya organisasi tani lokal di Pasawahan
dalam rangka mendapatkan pengkuan hak atas tanah HGU
PT. Cipicung yang masa berlakunya sudah habis sejak tahun
1993.
Fase okupasi awal dilakukan (tahun 2002 akhir) dengan
mengkapling tanah HGU PT. Cipicung dan membaginya
kepada 200 orang petani yang tergabung dalam organisasi
tani lokal. Pada tahun 2003 awal jumlah petani yang melaku-
112