Page 129 - Memahami dan Menemukan Jalan Keluar dari Problem Agraria Krisis Sosial Ekologi
P. 129
teraan, karena perempuan memiliki peran yang lebih besar
dalam kesehatan dan pendidikan anak, juga peningkatan
produktivitas melalui akses pada lahan dan input-input pro-
duktif lain (World Bank 2000: 119-123).
Dalam sebuah penelitian di Bodghaya, perempuan me-
ngaitkan hak (formal) mereka atas tanah dengan kemampuan
mereka untuk berfungsi selayaknya manusia. “Now that we
have the land, we have the strength to speak and walk”, sekarang
saat kami memiliki tanah, maka kami memiliki kekuatan
untuk berbicara dan bertindak (Petani di Bodghaya, India,
Kelkar dan Gala 1990 dalam Kodoth).
Relasi Gender dalam Penguasaan Lahan Pasca
Okupasi di Banjaranyar 2
Pasca-okupasi kelompok petani di Banjaranyar 2 tidak
ada lagi yang tak bertanah. Luasan garapan petani bervariasi
antara 100-400 bata, dan sebagian besarnya memiliki garapan
di atas 200 bata.
Pasca redistribusi, kondisi penguasaan lahan mengalami
pergeseran. Rata-rata lahan yang diredistribusikan berkisar
antara 90 bata-200 bata/rumah tangga. Persyaratan untuk
mendapatkan lahan okupasi sangat sederhana, yaitu, setiap
individu harus yang tinggal di wilayah okupasi dan sudah
berusia 17 tahun. Merujuk pada ketentuan ini, baik laki-laki
dan perempuan memiliki hak yang sama. Jumlah sertifikat
atas nama perempuan yang ditemukan di Banjaranyar 2
sekitar 10%.
Setelah okupasi, dengan sendirinya masyarakat mem-
bentuk mekanisme pembagian lahan yang disepakati oleh
semua masyarakat, sebagai berikut :
- Persentase perolehan lahan adalah ketua/koordinator
OTL 300 bata, dengan rincian, 100 bata jatah dan 200
adalah penghargaan kepengurusan.
- Sekretaris dan bendahara 250 bata, dengan rincian, 100
115