Page 127 - Memahami dan Menemukan Jalan Keluar dari Problem Agraria Krisis Sosial Ekologi
P. 127
kan pengkaplingan bertambah sebanyak 200 orang sehingga
keseluruhan menjadi 400 orang.
Proses pengkaplingan tanah dilakukan secara adil dan
merata berdasarkan kesepakatan di tingkat petani. Salah satu
kesepakatan mengenai tanah yang posisinya berada tepat di
pinggir jalan utama (poros), luasan yang diberikan haknya
pada petani seluas 75 bata. Sedangkan tanah okupasi yang
“di dalam” (tidak berada tepat di tepi poros jalan utama)
dibagikan dengan luasan masing-masing petani 175 Ha. Hal
lainnya yang juga disepakati dalam proses pengkaplingan ini
adalah arahan kepada setiap petani yang mendapatkan tanah
okupasi agar menempati tanah yang digarapnya, baik untuk
rumah maupun kegiatan pertanian.
Penataan tanah okupasi PT. Cipicung tidak membeda-
kan antara pengurus maupun anggota OTL. Tidak ada sistem
penghargaan berupa pemberian tanah tertentu untuk pengurus
OTL, kecuali hanya satu orang yang menjadi koordinator
wilayah OTL yang mendapatkan tanah penghargaan seluas
175 Ha (bagian dalam).
Hingga saat ini, status lahan yang dikuasai oleh petani
merupakan lahan garapan hasil okupasi. Proses pelegalan
lahan atas nama petani melalui redistribusi masih belum dapat
dilakukan karena hingga saat ini PT. Cipicung belum melepas
HGU agar kembali menjadi tanah Negara.
Relasi Gender dalam Penguasaan Lahan Petani
Di pedesaan berbagai negara, misal Filipina, Cina, Vietnam,
dan beberapa negara di Latin Amerika, hukum perkawinan
menyebutkan bahwa lahan rumah tangga dimiliki dan di-
kuasai secara bersama-sama antara suami dan istri. Namun
saat registrasi lahan (berupa sertifikasi lahan) dilakukan oleh
negara, maka hanya nama lelaki sebagai kepala rumah tangga
yang tercatat sebagai pemilik lahan (Brown, tidak ada tahun).
113