Page 184 - Memahami dan Menemukan Jalan Keluar dari Problem Agraria Krisis Sosial Ekologi
P. 184
sekedar untuk menambali kebutuhan sehari-hari. Mereka
sendiri menganggap bahwa bertani di Tanah Timbul ini seke-
dar alternatif tambahan. Pendapatan utama mereka tetap
sebagai nelayan. Kedua, adalah mereka yang mengelola lahan-
nya secara massif. Mereka ini umumnya warga yang begitu
memiliki hak garap atas tanah, langsung memutuskan diri
untuk menjadi petani sepenuhnya. Atau, mereka yang memi-
liki hak garap atas tanah di Tanah Timbul langsung bekerja
sama dengan pihak ketiga atau malah menjualnya pada orang
luar sehingga lahan itu dikelola oleh bukan warga asli Kam-
pung Laut. Akan tetapi semassif apapun pengelolaannya,
untuk kategori lahan pertanian, tetap saja mengandalkan
tadah hujan. Hal ini terjadi karena irigasi teknis yang diharap-
kan dapat menjadi pemenuhan kebutuhan air saat musim
58
kemarau belum ada sama sekali. Ketiga, model pengelolaan
biasa, bahkan cenderung asal. Lahan yang hak garapannya
sudah dimiliki digarap sekedarnya saja. Penduduk yang
mengelola lahan seperti ini memang tidak mengandalkan
penghasilan dari lahan-lahan tersebut. Adapun pengelolaan
lahan dilakukan supaya lahan yang mereka miliki tidak di-
tumbuhi semak belukar sehingga bisa memancing tumpang
tindih kepemilikan. Tumpang tindih kepemilikan sering ter-
jadi akibat kebiasaan tidak mengurus patok lahan, bahkan
ada yang hilang. Kamudian seiring dengan waktu, tumbuhlah
semak belukar dan bahkan tanaman bakau (manggrove) di
atasnya. Jika sudah lebat, beberapa warga baru menyangka
bahwa itu adalah tanah baru muncul sehingga mereka mema-
tokinya.
58 Dalam satu kesempatan, kami berdiskusi dengan aparat kecamatan
atau pun desa, kehendak memiliki irigasi teknis ini sangat besar. Mereka
merasa bahwa kehadiran irigasi akan meningkatkan produktivitas lahan
mereka.
170