Page 214 - Memahami dan Menemukan Jalan Keluar dari Problem Agraria Krisis Sosial Ekologi
P. 214
nya sangat dipengaruhi oleh sistem kerajaan, pada umumnya
raja dianggap sebagai orang yang memiliki secara mutlak
segala hal apa yang ada dalam wilayah kekuasaan kerajaan,
“sangisoring langit, salumahing bumi”(seluruh yang ada di
bawah langit dan di atas hamparan bumi). Kekuasaan raja
atas tanah adalah mutlak, tak dapat digganggu gugat.
Ada pola yang tetap dalam politik pertanahan di Yogya-
karta, meski berbagai perubahan sosial dan politik terjadi.
Pola yang tetap tersebut adalah bahwa kepemilikan atas tanah
pada dasarnya tetap berada pada kuasa kesultanan. Pada peri-
ode sebelum 1918 (Tanam Paksa di Yogyakarta), tanah meru-
pakan hak milik raja. Ketika kekuasaan kolonial makin me-
nguat dan turut campur dalam pengaturan masalah per-
tanahan, pemerintah kolonial Belanda melarang segala bentuk
penyewaan tanah. Pada waktu itu, penguasaan tanah dapat
dibedakan menjadi dua bentuk. Pertama, tanah keprabon atau
tanah yang dimiliki secara langsung oleh Raja. Kedua, tanah
apanage yang berfungsi sebagai lungguh untuk memenuhi
kebutuhan dan gaji bagi para pegawai kerajaan, para keluarga
dan kerabat kesultanan (para priyayi). Tanah apanage ini
biasanya di dalamnya terkandung juga hak-hak khusus yang
berupa pelayanan dari takyat yang tinggal di atas tanah apa-
nage tersebut. Rakyat yang tinggal di atas tanah apanage
biasanya wajib memberikan pajak atau persembahan hasil
bumi kepada para bangsawan yang memiliki tanah apanage
itu. Para pengguna tanah apanage juga diwajibkan untuk
menyediakan tenaga kerja bagi para bangsawan tersebut, men-
jadi bagian keamanan atau kebersihan atas rumahnya, dan
menjadi pengiring dalam upacara-upacara adat. Permohonan
untuk memiliki atau menggunakan yang disesuaikan dengan
kebutuhan rakyat tidak diijinkan sama sekali. Bahkan, dengan
sangat mudah para bangsawan itu bisa mencabut hak atas
tanah. Berhadapan dengan feodalisme kuno ini, posisi dan
hak rakyat sangat lemah.
200