Page 216 - Memahami dan Menemukan Jalan Keluar dari Problem Agraria Krisis Sosial Ekologi
P. 216
1 yang menyebutkan bahwa “DIY memberi hak milik
perseorangan turun temurun atas sebidang tanah kepada
warga negara Republik Indonesia”. Juga disebutkan tentang
hak milik kelurahan atas tanah, pada pasal 6 ayat 1: (2) Perda
DIY No. 10 tahun 1954 tentang Pelaksanaan Putusan Desa
mengenai hak Andarbe dari Kelurahan, dan hak Anganggo
turun temurun atas tanah dan perubahan jenis tanah: (3) Perda
DIY no. 11 tahun 1954 tentang Peralihan Hak Milik Per-
seorangan turun temurun yang diputuskan oleh Dewan
Kelurahan, dan dilanjutkan dengan Perda No. 12 tahun 1954
tentang Tanda Bukti yang Sah atas kepemilikan turun-
temurun itu, yang hingga hari ini disebut dengan Letter D.
Periode sesudah tahun 1960 ditandai oleh keluarnya
UUPA 1960 yang menyebutkan bahwa hak atas tanah swa-
praja atau bekas swapraja dihapuskan dan diserahkan pada
negara. Menghadapi aturan ini, Pemda DIY mengeluarkan
beberapa peraturan agrarianya sendiri, yaitu (1) Tanah yang
tunduk pada peraturan yang berujud Riksjblaad (lihat periode
1918), masih menjadi hak milik keraton dan Paku Alaman.
Inilah yang hari ini kita kenal sebagai Sultan Grounds (SG)
dan Paku Alaman Grounds (PG): (2) Tanah yang tunduk
pada perda adalah tanah andarbe atau anggaduh: (3) Tanah
yang tunduk pada UUPA adalah tanah milik masyarakat
Eropa atau Timur Asing.
Meskipun Pada Periode 1984, Sultan Hamengku Buwono
IX berupaya untuk mengintegrasikan pengelolaan tanahnya
dengan undang-undang agraria nasional, tetapi pada praktik-
nya Sultan tetap tetap berupaya mereorganisasi sisa-sisa
kekuasaan feodalnya, yaitu dengan tetap memberlakukan
ketentuan Rijksblad Kasultanan dan masih mengenal terma
Sultan Ground dan Paku Alaman Ground.
Politik pertanahan dari rejim kapitalis-feodal ini mem-
buat tanah sebagai basis material, selalu tetap berada dalam
kekuasaan kesultanan, meskipun kekuasaan itu terus ber-
202