Page 55 - Memahami dan Menemukan Jalan Keluar dari Problem Agraria Krisis Sosial Ekologi
P. 55

poli oleh Perhutani dalam arti petani tidak bebas menjual
             hasil garapannya. Hal yang demikian ini menunjukkan proses
             konsentrasi dan ekstraksi surplus pada pihak Perhutani (penye-
             dia lahan) sementara petani kembali dalam posisi tenaga
             buruh yang diupah oleh Perhutani dalam jangka waktu ter-
             tentu sesuai dengan kesepakatan. Secara singkat dapat dikata-
             kan, skema PHBM pada prinsipnya merupakan usaha mem-
             posisikan petani menjadi tenaga buruh upahan di lahan
             garapannya sendiri.
                   Penyingkiran petani dari alat-alat produksi tidak hanya
             terjadi akibat masuknya perusahaan perkebunan dan kehu-
             tanan. Tingginya kebutuhan atas input produksi (bibit, pupuk
             dan obat) dan keuntungan yang diperoleh dari pengadaan
             input produksi dan penjualan hasil panen tersebut menyebab-
             kan antara petani dan bandar saling menjaga hubungan baik
             (hubungan patron-klien). Di tingkat petani, hubungan baik
             ini diperlukan agar memperoleh akses pinjaman dari bandar
             baik berupa uang maupun dalam bentuk bibit, pupuk dan
             obat-obatan. Di lain pihak, kepentingan bandar terhadap
             hubungan tersebut untuk menjaga keuntungan yang diper-
             olehnya dari usaha petani di tanah garapannya. Semakin lama,
             semakin terlilit hutan dan petani sudah tidak mampu lagi
             membayar hutang ke bandar. Akibatnya, petani sudah tidak
             dapat mengusahakan lahannya lagi karena kehilangan sumber
             modal.
                   Relasi ekonomi patron-klien ini menyebabkan pemben-
             tukan dan penumpukan (akumulasi) surplus hanya terjadi
             pada pihak bandar (patron) sementara petani (klien) menjadi
             buruh di lahannya sendiri. Tidak jarang, akibat hubungan
             hutang-piutang semacam ini menyebabkan petani kehilangan
             lahan garapannya atau petani menjadi buruh di lahan
             garapannya sendiri. Kondisi ini telah berlangsung lama sejak
             sebelum warga berhasil mendapatkan akses lahan garapan.
             Kang Sibir menuturkan:

             41
   50   51   52   53   54   55   56   57   58   59   60