Page 240 - Bilangan Fu by Ayu Utami
P. 240

Burung itu berayun dan melesat meninggalkan hutan. Ia
               melintasi  tanah  lapang  menuju  istana  Watugunung.  Seperti
               tiga  tahun  lalu,  ia  akan  hinggap  di  jendela  tempat  Suhubudi
               sedang berada.
                   Tapi  di  tanah  lapang  itu  kini  ada  seorang  anak  yang
               belum  lama  mendapat  senapan  angin  dari  pamannya  yang
               militer dan kepala desa. Si anak sedang menatap ke langit dan
               membayangkan diri seorang penakluk hutan. Ke dalam bidang
               pandang anak itu, masuklah si Burung Siung yang membawa
               berita. Si anak mengarahkan moncong senapan dan membidik.
               Terdengar  letusan.  Lalu  bau  asap  logam  kecil.  Siung  yang
               membawa kabar itu melenting dan meluncur ke bawah. Burung
               kecil itu terhempas di ladang. Si anak melompat kegagahan.
                   Nyi  Manyar  masih  menunggu,  meski  ia  merasa  sesuatu
               telah  terjadi.  Ia  menanti  beberapa  saat  lagi.  Maka  lewatlah
               seekor  kupu­kupu.  Terbang  berkitar­kitar.  Warnanya  hitam
               dan kuning terang.
                   “Namamu Kupukupu,” ia berkata pada si bayi. Suaranya
               tak bisa menyembunyikan rasa pilu.
                   Lalu Nyi Manyar yakin bahwa Suhubudi tak akan datang.
               Ia menarik nafas panjang. “Kelak kamu akan jadi kupukupu,
               Nak. Tetapi sebelum itu, kamu harus menjalani hidup sebagai
               ulat.”
                   Nyi  Manyar  membungkus  anak  itu  dengan  lampin  hijau
               muda yang tadi menjadi selimutnya dan membawanya turun
               ke  desa  bagai  kepompong.  Setelah  tiba  di  rumah,  masih  di­
               suruhnya  seorang  bujang  pergi  ke  padepokan  Suhubudi  un­
               tuk  menyampaikan  berita  itu  diam­diam.  Meskipun,  ia  tahu
               ketidakhadiran  Suhubudi—apapun  alasannya—sudah  meru­
               pakan  suatu  pertanda.  Demikianlah,  seperti  telah  ia  duga,
               setelah beberapa lama utusan itu kembali seorang diri. Bapak
               Suhubudi  memohon  maaf  sebesar­besarnya,  ujar  si  bujang.
               Beliau  sedang  sibuk  oleh  banyak  tamu.  Tapi,  mohon  ampun


            230
   235   236   237   238   239   240   241   242   243   244   245