Page 427 - Bilangan Fu by Ayu Utami
P. 427

ngarlah!, kuntilanak dalam akuarium itu terus saja mencam­
                 pur­adukkan  kata—dan,  dengan  demikian,  menumpulkan
                 makna. Dengan jerit tawa mengerikannya ia bercerita tentang
                 misteri di balik perceraian artis sinetron X dan Y. Dan… ter­
                 nyata  teka-teki  itu  adalah  wanita  misterius  yang  selama  ini
                 menjadi  teman  kencan  rahasia  dari  aktor  Y!  Hahahihi!  Ka­
                 kakikik!  TTM:  Teman  Tapi  Misterius!  Hihihaha!  Kikikakak!
                 Hihihi… Kakakakak! Huik huik huik… Kwak kwak kakakakak!
                 Lalu, di dalam kepalaku televisi itu tiba­tiba, DOARR!, meletus,
                 seolah  tak  kuat  lagi  menahan  tekanan  dari  dalam.  Meledak!
                 Beling  melenting  menjadi  serpih­serpih  memenuhi  ruangan.
                 Jatuh perlahan bagaikan konfetti bekerlipan. Dan, kuntilanak
                 itu,  saudara­saudara,  tanpa  akuarium  kaca  yang  melindungi
                 dia lagi, ya tuhan… dia, dia kempes! Mengerikan sekali. Seperti
                 ikan pelembungan kehilangan udara. Kempes…
                     Aku  tertawa  puas.  Terbahak­bahak  aku.  Aku  gembira
                 sekali sampai perutku sakit dan mataku berair.
                     Sejenak  kemudian  aku  mendapati  bahwa  semua  mata
                 menatap kepadaku dalam diam. Bagai sepuluh menit lamanya.
                 Aku  merasa  menjadi  pemandangan  ganjil  dalam  film  yang
                 dihentikan.  Rupanya  tak  ada  yang  melihat  bahwa  televisi
                 itu  meledak.  Kuntilanak  itu  juga  tidak  tahu  bahwa  ia  tadi
                 meletus kempes. Ah, setelah sedikit iklan, sekarang ia kembali
                 membawakan gosip; si kuntilanak jahanam.

                     Sepulang dari rumah Hansel Gretel itu Marja marah sekali
                 kepadaku. Katanya aku sungguh tidak sopan.
                     “Kamu tahu tadi kita lagi ngomongin apa waktu kamu tiba­
                 tiba ketawa?”
                     Aku menggeleng.
                     “Marja,  sori,  maaf,  ampun.”  Kupasang  tampang  sedihku
                 yang, sialnya, tak terlalu meyakinkan. “Aku memang ngelamun
                 karena  kamu  kan,  dalam  rangka  agar  supaya  tidak  ketahuan


                                                                         1
   422   423   424   425   426   427   428   429   430   431   432