Page 436 - Bilangan Fu by Ayu Utami
P. 436

Aku memang masih enggan percaya.
                   “Apa bedanya kamu dengan Pontiman Sutalip?”
                   Aku merasa ditampar pipi kananku.
                   “Itulah titik di mana kamu tertawa terbahak­bahak.”
                   Aku merasa ditampar pipi kiriku.

                   Pak Pontiman dan Parang Jati sedang berdebat mengenai
               peristiwa ini. Seorang militer dan seorang perenung. Seorang
               penguasa  desa  dan  seorang  pelaku­kritik.  Dua  wanita,  Marja
               dan nyonya kepala desa, menyaksikan dengan tak nyaman adu
               argumen  itu.  Mereka  tak  hendak  berpihak.  Parang  Jati  ber­
               keras bahwa gelombang pembunuhan itu terencana. Pontiman
               Sutalip berpendapat bahwa itu murni kekerasan massa, yang
               menunjukkan  perlunya  “pendekatan  keamanan”  ditegakkan
               kembali.  Parang  Jati  berkata,  persis  apa  yang  ia  katakan
               padaku, “masihkah orang tak percaya teror itu ada, sedangkan
               Pak  Penghulu  pun  tak  berani  tinggal  di  rumahnya  sendiri?”
               Pontiman Sutalip, dengan nada meremehkan, berkata bahwa
               Penghulu  Semar  khawatir  secara  berlebihan.  Ia  telah  bicara
               pada Suhubudi dan Penghulu Semar dan menganjurkan agar
               Pak  Penghulu  kembali  ke  rumah  sendiri.  Sambil  menepuk
               dada, pemimpin desa itu berkata, “Saya berani jamin. Desa ini
               aman!”
                   Persis ketika itu, aku menyaksikan televisi meledak. Kunti­
               lanak kehabisan udara dan kempes. Aku terbahak­bahak tidak
               terkendali.
                   Aku mengerti sekarang kenapa Marja marah sekali.













             2
   431   432   433   434   435   436   437   438   439   440   441