Page 438 - Bilangan Fu by Ayu Utami
P. 438
“Kan dia sudah jadi hantu cekik,” ujarku sambil menyala
kan api unggun.
“Ah, hantu cekik itu gak beneran ada.” Suara Marja ngam
bek. Seperti bocah yang kecewa dengan mainan palsu yang
diberikan padanya.
Ada suara desis yang membuat kekasihku terkejut sedikit.
Parang Jati memompa kasur.
“Tapi kan kepercayaan pada hantu cekik itu ada beneran,”
kata Parang Jati, seperti telah kukenal dia. “Tak penting hantu
nya ada beneran. Yang penting kepercayaan padanya ada
beneran.”
“Pentingnya apa, dong, kalau gitu?” Sambil mengajuk,
Marja yang nakal sengaja membaringkan diri pada kasur yang
baru setengah jadi. Ia suka sekali membuat sahabatku berada
dalam kesulitan, seperti menyalurkan sejenis agresivitasnya
yang lain.
“Pentingnya, hm…” Parang Jati terus memompa. “Hm,
satu, rasa takut itu akan membuat seluruh keluarga berkumpul
bersamasama dan saling menghangatkan. Itu baiknya. Keta
kutan itu menghangatkan.”
Seperti cerita hantu akan membuat Marja merasa seru dan
nyaman dihangatkan oleh dua lelaki di kiri kanan. Bagai bayi
dengan dua ayah.
“Dua.” Ia mulai sulit memompa. “Ini jeleknya. Ketakutan
itu bisa dipakai oleh orang jahat untuk menguasai orangorang
yang takut.”
Aku menduga Parang Jati akan mengajukan contoh ten
tang dinas rahasia militer menyebarkan teror psikologis untuk
menakuti masyarakat. Perhatikanlah, pernah ia berkata pada
ku, bahwa isuisu demikian—hantu cekik, prajurit Nyai Rara
Kidul penuai nyawa, biskuit beracun, ninja, kolor ijo—selalu
disebarkan menjelang pemilihan umum atau peristiwaperis
tiwa politik besar.
2