Page 44 - Bilangan Fu by Ayu Utami
P. 44
Pemuda itu mengulurkan tangan. “Jati,” ujarnya memper
kenalkan diri. Ia memiliki senyum yang tulus dan gigi yang
berjajar sangat bagus.
Aku menyambut salamnya yang besar hangat dan menye
butkan namaku. Aku mengenal dua orang lain bernama Jati.
“Jati apa?”
“Parang Jati.”
Nama yang gagah. “Pemberian orangtua?”
Ia mengangguk. “Pemberian orangtua. Tapi bukan orang
tuaku. Nama kamu… Sandi Yuda?”
Anehnya aku tak menganggap serius tebakan jitunya da
lam percakapan pengencer ini. Aku sedang sombong lantaran
kemenanganku dalam bertaruh dengan si Fulan. Kesombongan
membuatku menyimpulkan bahwa orangtuaku sekadar mudah
ditebak. Aku tak mau melihat tandatanda istimewa pada anak
itu.
“Lagi beli apa, Jat?”
Ia pun bercerita bahwa ia masih menimbangnimbang
beberapa pilihan peralatan untuk di tebing dan gua. Ia maha
siswa semester akhir geologi ITB. Ia mungkin membutuhkan
peralatan itu untuk sebuah penelitian arkeogeologi.
“Tapi di sini gak jual peralatan clean climbing,” katanya
dengan menyesali.
Aku menyahut dengan nada memperolok. “Mana ada clean
climbing yang lokal. Teknologi itu mahal, Bung!”
Matanya seperti terbuka. Aku mengagumi kebeningannya.
“Jadi kalian selalu memaku dan mengebor tebing?”
Suaranya yang heran justru membuat aku menjadi heran.
Jatuh dari langitkah anak ini sehingga tak tahu bahwa semua
pemanjat di sini memasang paku dan mengeborkan peng
aman? Kalau tidak begitu, mana bisa kita memanjat?
Ia memonyongkan mulut. “Kukira cuma militer yang
memaku dan mengebor tebing.”
3