Page 472 - Bilangan Fu by Ayu Utami
P. 472

peringatan empatpuluh hari wafatnya Penghulu Semar. (Pidato
               Parang  Jati  yang  rasional  cukup  menghentikan  desas­desus
               mengenai kebangkitan atau hantu gentayangan, setidaknya di
               kalangan  tamu­tamu.)  Dua  hari  berikutnya  diisi  oleh  diskusi
               dan pertunjukan seni. Penutupnya adalah acara puncak. Tokoh­
               tokoh dari pelbagai agama akan berdoa dengan cara masing­
               masing demi penyelamatan bumi ini. Demi berhentinya cara­
               cara kekerasan, terhadap manusia maupun terhadap alam.
                   Pada saat itu barulah aku sadar bahwa kelompok agama di
               Indonesia ini jauh lebih banyak jumlahnya dari pada lima yang
               diakui secara resmi oleh pemerintah. Aneh. Betapa selama ini
               aku dibikin picik oleh pemerintah dan percaya bahwa hanya ada
               lima golongan agama di negeri ini: Islam, Protestan, Katolik,
               Hindu,  dan  Buddha.  Dalam  Ruwatan  Bumi  kali  ini,  untuk
               pertama  kalinya  aku  diperkenalkan  kepada  orang  Konghucu,
               Sikh, Ahmadiyah, Syiah, juga pada yang disebut “penghayat”.
               Semula kata itu terdengar lucu di telingaku: penghayat. Mereka
               adalah orang­orang yang menganut “agama lokal”.
                   Mengenai “agama lokal” itu demikian penjelasan Parang
               Jati padaku:
                   Ajaran  nenek­moyang  yang  dianut  para  penghayat  itu
               sesungguhnya  agama  juga.  Cuma,  kaum  dogmatis—seperti
               orang Farisi—tak rela membiarkan kata “agama” dipakai un­
               tuk merujuk pada kepercayaan yang tidak memiliki nabi dan
               kitab.  Karena  itu  mereka  menuntut  agar  agama­agama  bumi
               nenek­moyang kita tidak disebut “agama”, melainkan “keper­
               cayaan”  saja.  Mereka  tak  menghendaki  adanya  agama  baru.
               Sebagai  kompromi  politik,  agama  nenek­moyang  dinamai
               “aliran  kepercayaan”.  Penganutnya  disebut  “penghayat”.  Pe­
               ngelolaannya  tidak  di  bawah  Departemen  Agama,  melainkan
               Departemen Kebudayaan. Padahal, agama­agama bumi nenek­
               moyang inilah yang lebih asli tanah nusantara. Inilah agama
               leluhur kita yang tumbuh perlahan­lahan di bumi pertiwi.


              2
   467   468   469   470   471   472   473   474   475   476   477