Page 474 - Bilangan Fu by Ayu Utami
P. 474

mengulang­ulang bacaan yang sama dalam khayalan sebelum
               tidurnya. Ia tak pernah selesai membaca.
                   Kekuasaan tidak menarik bagi si sulung. Sebab ia memi­
               likinya sejak dini. Ia tidak punya kompleks anak bungsu untuk
               mengekor atau menyaingi kakak. Satu­satunya luka masa kecil
               yang  tak  penuh  ia  mengerti  maknanya  adalah  hubungannya
               dengan  ibunya.  Bilur­bilur  yang  lain  telah  mengering  dan
               telah  ia  fahami  sebagai  memperkuat  dirinya.  Luka  yang  satu
               itu masih basah. Tapi ia telah menerimanya seperti stigmata
               yang profan. Ia dan ayahnya, dan semua yang mengetahui itu,
               membiarkan luka itu terbungkus dengan perban yang diganti
               setiap  kali  telah  becek,  dan  tak  satu  pun  membicarakannya
               lagi.
                   Tapi si bungsu masih memiliki itu. Kompleks anak bung­
               su. Ia, yang tak sempat kenyang di masa kecilnya, mengagumi
               kemegahan.  Ia  menyukai  kekuasaan.  Ia  belum  beranjak  dari
               keinginan  mengalahkan  kakak.  Ia  belum  terbebaskan  dari
               keinginan  bawah  sadar  untuk  membalaskan  dendam  atas
               kematian  kekasih.  Dendam  yang  tak  bisa  ia  rumuskan,  ke­
               pada  penguasa  laut  Selatan.  Tak  terumuskan,  sebab  tak  ada
               bukti  bahwa  Nyi  Ratu  Kidul  membunuh  kekasih  kecilnya.
               Hanya  kepercayaannya  sendiri  yang  mengatakan  itu.  Bahwa
               ia masih memiliki dendam, itu hanya menunjukkan bahwa ia
               sesungguhnya belum terbebaskan dari ketakutan pada roh­roh
               bumi.  Ia  mengira  dengan  menumpas  dan  menghancurkan,
               ia  akan  membebaskan  manusia  dari  roh­roh  tersebut.  Tapi
               sesungguhnya,  segala  bentuk  penghancuran  hanyalah  bukti
               dari keterbelengguan oleh rasa takut.
                   Dan,  celaka!  Tidakkah  abangnya  kini  bersekutu  dengan
               roh­roh bumi tersebut?

                   Bagi  Parang  Jati,  yang  tak  pernah  takut  pada  roh­roh
               bumi, menghormati mereka adalah sama seperti menghormati
   469   470   471   472   473   474   475   476   477   478   479