Page 506 - Bilangan Fu by Ayu Utami
P. 506

mungkin seperti hewan liar, yang merasakan energi musuh dari
               gelombang degup jantung.
                   Kami bertiga berhenti sedikit jauh dari mulut goa. Parang
               Jati  telah  meminta  kami  menunggu  agak  di  sebuah  jarak.  Ia
               akan  masuk  sendiri,  demi  tidak  menimbulkan  kepanikan.
               Jika  ia  dalam  bahaya  ia  akan  berteriak.  Jika  ada  suara  yang
               mencurigakan  mengenai  keselamatannya,  aku  dipersilakan
               mengambil tindakan. Tapi jika semua tenang, kami harus diam
               menunggu pula. Sebab tak ada yang tahu adakah si Tuyul sudah
               di dalam atau belum tiba. Apakah dia akan muncul dari dalam
               goa atau dari arah hutan.
                   Parang Jati meninggalkan kami. Kami melihat bayangnya
               mengendap­endap,  sebelum  ia  lenyap  dalam  sembunyi  di
               dedaunan  malam.  Setelah  itu  sunyi.  Sunyi  terasa  panjang.
               Nyamuk­nyamuk  mulai  menyerang.  Kami  mulai  menderita
               oleh  gigitan  dan  rasa  tak  pasti.  Akankah  kami  menunggu
               sampai  pagi.  Akankah  Tuyul  itu  sungguh  datang  ke  sini.
               Ataukah ia sempat melihat jebakan ini sehingga melarikan diri
               kembali ke padepokan.
                   Tidak. Aku memegang tangan Marja, memberi tanda agar
               ia  jangan  bergerak.  Sebab  aku  mendengar  suara  gemeresak
               sekilas  di  sisi  yang  berseberangan.  Aku  merasa  ada  orang
               tetapi  insting  tak  terlalu  meyakinkan.  Bunyi  galau  air  yang
               berpusaran  menimpa  kelanjutannya—jika  suara  itu  memiliki
               kelanjutan.  Suara  itu  tak  memiliki  kelanjutan.  Sialan.  Kami
               terus merunduk di balik semak penuh nyamuk.
                   Tiba­tiba aku melihat nyala senter di dalam goa. Di ujung­
               nya tampak Tuyul itu bergelung. Matanya yang bulat tampak di
               balik lutut dari kaki yang menekuk sebagai tameng perut. Mata
               yang terpasang terbalik itu bagai mengancam untuk mencelat
               ke sebelah dalam, menyisakan rongga kosong seperti pada bo­
               neka yang disewenangi. Ada kesedihan yang mengerikan. Lalu
               aku mendengar suara Parang Jati dalam nada pertanyaan.
   501   502   503   504   505   506   507   508   509   510   511