Page 65 - Bilangan Fu by Ayu Utami
P. 65
dengan kecepatan menakjubkan sementara Sangkuriang mera
kit bahteranya dengan penuh birahi. Dayang Sumbi menjadi
cemas. Ia pun menggagalkan pekerjaan Sangkuriang dengan
membuat fajar tipuan. Sebuah versi berkisah bahwa fajar ti
puan itu dibuatnya dengan membakar hutan di timur (ketika
itu belum ada Walhi), demi menciptakan langit merah di tem
pat matahari terbit. Apapun, fajar tipuan itu demikian meya
kinkan. Merasa pagi telah tiba, Sangkuriang diserang kecewa.
Ia mengira dirinya benar gagal. Mengamuklah jejaka berdarah
muda itu sehingga melemparkan bahtera yang sedang dia
kerjakan. Bahtera itu jatuh tengkurap menjadi Gunung Tang
kuban Perahu.
Kisah Watugunung sedikit berbeda dengan Sangkuriang.
Pada kisah Watugunung, kedua kekasih inses itu—Prabu Watu
gunung dan Permaisuri Dewi Sinta—telah raja dan ratu. Arti
nya, mereka telah menikah. Mereka telah secara rutin mela
kukan “hubungan pasutri”, begitu istilah orangorang yang
gemar televisi dan majalah wanita murahan. Hingga suatu kali,
Dewi Sinta mencari kutu di kepala Prabu Watugunung yang
bersandar di pangkuannya dan menemukan tilas luka. (Bagian
ini sungguh menggangguku: bagaimana mungkin seorang raja
berkutu? Tapi, ah, seperti kata Parang Jati, tak bisa kita me
nerapkan kaca mata sekarang untuk membaca dongeng masa
lampau.) Tahulah sang permaisuri bahwa suaminya adalah
putranya sendiri.
Untuk menceraikan diri, Dewi Sinta juga meminta syarat
yang tak masuk akal kepada Prabu Watugunung. Sama seperti
Dayang Sumbi. Jenis permintaannya memang berbeda, tetapi
sama menimbulkan bencana. Dewi Sinta minta dimadu dengan
segenap bidadari surgalaya. Kelihatannya menyenangkan bagi
sang suami. Istri yang rela dimadu. Oh, justru minta dimadu.
Persoalannya, bidadari tidak datang sendiri mengasongkan
diri, melainkan harus direbut secara paksa melalui perang.